Jumat, Maret 11, 2016

Terbangun dari Mimpi

(Foto: dokumen pribadi)

Tiba-tiba mataku terbuka.

Tidurku yang tak seberapa lama itu tidak terlalu mengenakkan apalagi nyenyak. Aku lupa semalam tidur pukul berapa. Pagi ini kutersadar, selimutku terbuang ke lantai dan aku masih memeluk guling.

Lantas, aku melirik ponselku di atas meja sebelah tempat tidurku. Kunyalakan layarnya tanpa beranjak dari posisiku semula. Sudah pukul 05.30 pagi rupanya. 

Kuingat mimpi itu.

Masih terbayang jelas di kepala.

***

Malam itu hujan cukup deras. Kami berdua baru saja menghadiri sebuah pembukaan pameran yang sedang ramai dibicarakan anak-anak muda di kotaku. Ia menggandeng tanganku di depan lobi gedung pameran itu berlangsung. Kami berdua seperti memperhatikan hujan yang tak kunjung reda. Sementara itu, genggaman tangannya semakin erat. Entah apa artinya. Aku tak mengerti.

Sudah sekian lama kami menghabiskan waktu bersama. Kesana, kemari. Menjelajah ibukota dan segala pernak-perniknya. Mungkin jutaan detik sudah kuhabiskan dengannya. Sekian banyak hal juga kujalani dengannya. Mulai dari bangun tidur dan mengucapkan selamat pagi, sampai beranjak tidur dan mengucapkan selamat malam melalui pesan singkat. Dari hal sepele sampai hal yang kompleks.

Udara dingin bertiup menghempas helai rambutku dan menerpa wajahnya. Ia bertanya padaku, apakah aku kedinginan. Namun aku menggeleng, kemudian menunduk saja memperhatikan rintik hujan yang jatuh ke aspal.

Hujan tak kunjung reda.

Namun kami tak mungkin terlalu lama menghabiskan waktu untuk menunggu hujan sampai reda. Kami perlu pulang ke rumah masing-masing. Hari sudah semakin malam dan kendaraan untuk pulang semakin sulit didapat. 

Tak berapa lama sebuah taksi berhenti di depan lobby gedung, pasca menurunkan penumpang. Spontan aku mendekati taksi itu dan memastikan kesediaan supirnya. Rupanya taksi tersebut bersedia untuk mengantar ke arah rumahku.

Kemudian kami berdua naik.

Tak peduli arah rumah kami berjauhan, bahkan tidak searah sama sekali, ia ikut denganku.

Entah sejak kapan. Mungkin sejak aku tahu ada banyak hal yang ia sembunyikan dariku atau sejak aku semakin paham siapa perempuan itu. Rasanya, genggaman tangan atau kecupan sayang hanyalah formalitas belaka. Entah. Mungkin aku muak saja dengan semuanya. Mungkin aku jenuh dan lelah dengan semuanya. Sehingga semua terasa hambar dan tak ada artinya lagi.

Di taksi dengan pencahayaan temaram ia mulai bercerita tentang kesibukkannya akhir-akhir ini. Bagiku semuanya seperti racauan yang melintas sesaat di telingaku. Tak ada yang perlu kurekam di kepala dan tak ada yang cukup penting untuk kuingat.

Ia memandangiku dengan penuh rasa heran.

Pandangannya kubalas dengan senyuman.

Tak terasa taksi yang kami tumpangi hampir sampai ke rumahku. Selanjutnya, aku akan segera turun dan ia bergegas pulang menggunakan taksi yang sama ke rumahnya yang terbilang cukup jauh dari rumahku.

Aku lebih banyak diam selama di taksi. Bisa dibilang tak ada percakapan yang menarik lagi di antara aku dan dia. Mungkin saja kami masih membutuhkan satu sama lain sebagai pendengar setia setiap keluhan hidup. Mungkin saja kami masih menyayangi satu sama lain. Dan segala kemungkinan tersebut mungkin saja masih terlintas di benakku. Tetapi aku tidak bisa berpura-pura menjadi orang bodoh setiap saat. Bertahan dan sabar serta tetap lurus mencintai laki-laki yang aku tahu telah memiliki cerita lain di luar sana. Aku tidak bisa terus berpura-pura menikmati kehambaran demi kehambaran ini. Bahkan, aku tidak bisa berpura-pura hidup ketika aku mati rasa.

Beberapa meter lagi taksi akan sampai ke depan rumahku. Aku bergegas mengambil uang dari dompet untuk membayar taksi. Kami membisu. Lantas, tanpa perlu ada kata apapun aku memeluknya dengan erat dan mencium keningnya.

Segera kututup pintu taksi dan melambaikan tangan serta senyuman padanya.

Air mataku menetes deras dan pandanganku kabur begitu saja. Entah, seperti ada yang meledak sekaligus lega. Kupikir, mungkin esok tak akan pernah ada lagi pertemuan-pertemuan seperti ini.


***

Mimpi itu sekejap hilang saat aku menaruh ponselku dan mengelap pipiku yang ternyata basah karena air mata yang menetes dengan sendirinya.

Ah, ini Minggu masih pagi, pikirku.

Kurasa kini saatnya lari pagi.


1 komentar:

Any comments?