Sabtu, Juni 27, 2015

Pada Sepotong Pizza



Malam ini, meja kerja seperti kapal pecah. Semua barang berserakkan. Semua ide seperti berpencar mencari titik temu di sumbu-sumbu neuron. Tiga butir pil obat - yang aku sendiri tak tahu kegunaannya itu telah masuk ke dalam kerongkonganku. Mungkin kini mereka sudah sampai ke lambungku dan bersiap menuju usus halus. Jujur saja, kini rasanya semakin malas minum pil-pil obat itu. Obat klinik yang (katanya) mengobati sakit-sakit ringanku; flu, batuk, migrain, sampai alergi yang datang tanpa kusadari belakangan ini, rasanya tak ada pengaruhnya sama sekali. Sekali-dua kali minum, biasanya aku tinggalkan saja mereka di meja atau kadang tersimpan di tas dan terlupakan begitu saja.

Di meja masih ada lemon tea, sisa tadi sore. Segelas air putih penyerta minum obat juga berdiri kokoh di samping laptop yang juga sedari sore menyala dan tersambung kabel beraliran listrik. Nyamuk-nyamuk di kolong meja rasanya semakin senang saja mengisap darahku dan menyisakan gatal di kulitku yang tergolong cukup sensitif akan gigitan nyamuk.

Ini malam lumayan sepi.

Aku meneguk lemon tea yang kubeli tadi sore. Lemon tea yang kubeli berbarengan dengan sekotak pizza. Ya, derasnya hujan yang turun sejak pagi sampai sore hari ini membuat banyak orang di luar sana - termasuk aku enggan pergi ke pasar atau bahkan sekedar melangkahkan kaki ke dapur untuk membuat sarapan dan makan siang. Beruntungnya sekarang, hanya dengan mengandalkan koneksi internet di laptop kita sudah bisa memesan makanan tanpa khawatir pesanan kita lama tiba. Layanan pesan-antar itu kini menjamin, 30 menit sampai di tempat tujuan.

Pesanan pizza ku dikonfirmasi melalui email tepat pukul 15:09. 

Sambil menggerutu dengan laju koneksi internet yang turun-naik, aku terus memperhatikan jam. Apa benar mereka bisa datang tepat waktu seperti yang mereka janjikan di iklan online? Dalam waktu 30 menit pesanan sampai di rumah dengan kondisi hujan seperti ini mungkin mustahil. Jalanan menuju rumahku biasanya terkena  banjir temporer.

Benar saja. Pesananku terlambat 10 menit.

Kurasa tak perlu komplain. Kurir pizza itu datang dengan struk pembelian yang lecek dan agak basah. Raut wajahnya seperti lelah pasca mencari alamat rumahku yang agak berliku. Tangan kanannya membawa tas berisi pizza, dan tangan kirinya membawa tas yang berisi minuman. Aroma chiccarbonara classic pesananku sudah tercium. Pizza dengan taburan jamur, potongan ayam, serta sentuhan saus carbonara siap kusantap hangat-hangat sore ini. Sejak tidak diperbolehkan makan daging merah oleh dokter, aku selalu mengalihkan konsumsi hewani ku menjadi ayam atau ikan. Itupun dalam seminggu aku sudah mengalihkan segala jenis daging ke makanan lain.

Aku membuka kemasannya yang berbentuk kotak persegi itu. Aromanya sangat menggoda lidahku untuk langsung mencicipinya. Pizza itu terasa nikmat dengan potongan jamurnya yang kenyal dan ayamnya yang gurih. Tentunya delapan juring pizza itu tidak kulahap sendirian. Ada Ibu di rumah, dan kami makan bersama. Namun aku dan Ibu memiliki lambung yang tidak terlalu luas. Tiga juring yang ia makan dan empat juring yang aku makan membuat kami menyerah pada rasa kenyang.

Chiccarbonara classic yang aku pesan hari ini memang nikmat. Tapi setelah kupikir lagi, ini tak senikmat meat lover atau american favourite yang bertabur daging sapi cincang, smoked beef, jamur, keju mozarela dan potongan sosis sapi. Dulu aku menyantapnya saat di rumah ini masih ada banyak orang yang tinggal. Ramai. Namun hangat.

Setiap orang mungkin hanya mendapat 1-2 juring pizza, tetapi kami senang. Kami bisa saja bercanda karena taburan pizza siapa yang paling banyak dan sedikit. Kemudian biasanya selalu ada yang menghibahkan sepotong pizzanya untuk yang belum cukup kenyang atau sekedar ingin menambah saja. Kehangatan itu hanya bisa kuingat-ingat malam ini sambil tersenyum dan menatap potongan pizza terakhir yang ada di atas piring.

Nyatanya sekarang aku hanya berdua di rumah dengan Ibu. Kami menyantap chiccarbonara classic, dan bukanlah meat lover atau american favourite. Akupun sudah tidak bisa lagi mencicipi meat lover atau american favourite. Pandanganku sesaat terhenti pada segelas lemon tea, kemudian kembali menulis.

Jemariku masih berusaha menari di atas keyboard laptop, seolah meracau tak tahu apa yang ditulis. Entah harus dari mana aku menemukan secercah ide. Yang aku pikir hanya segelas lemon tea yang terlalu asam, dan segala kenikmatan sepotong pizza meat lover dan american favourite. Dan racauan otakku berkata bahwa sebenarnya ada banyak keindahan dan kesenangan yang harus kita tinggalkan karena sesuatu hal.

Ada banyak hal menyenangkan di masa lalu yang tidak bisa datang kembali dan harus kita tinggalkan.

Bukan karena hal-hal itu tidak baik. Belum tentu. Mungkin saja hal-hal itu baik, mungkin juga buruk. Tapi satu hal yang membuatku sadar, keputusan untuk tidak makan daging adalah untuk kesehatan. Agar tidak sakit lagi seperti dulu. Agar menjadi lebih baik. Lebih sehat.

Demikian dengan segala hal manis yang harus terpaksa kita tinggalkan. Bukan berarti hal itu buruk. Belum tentu. Mungkin kita harus meninggalkannya agar kita menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Tiba-tiba lamunanku terpecah.

Rasa haus mengajakku untuk meraih lemon tea yang telah menjadi sepertiga gelas. Dan pizzaku masih ada satu potong di atas piring. Rupanya sudah ada sedikit ruang di lambungku untuk menampungnya setelah kekenyangan cukup lama. Tanganku meraih sepotong pizza di balik laptop.

Tapi aku kalah cepat.

Segerombolan semut sudah lebih dulu menyerbu sepotong pizza chiccarbonarra classic milikku.


(Mulai ditulis 28 Desember 2014, saat Jakarta sering hujan)

1 komentar:

  1. "Ada banyak hal menyenangkan di masa lalu yang tidak bisa datang kembali dan harus kita tinggalkan. Bukan karena hal-hal itu tidak baik. Belum tentu"

    Karena waktu adalah fana, kita abadi, maka hal-hal tersebut berlalu.. :)
    *aku abis nonton pertunjukkan teater garasi cin, eh ketemu kata2 cintra di atas, jadi keinget pementasannya. hehe

    BalasHapus

Any comments?