Jumat, Desember 26, 2014

Kisah Saya dan Fibroadenoma Mammae

Kisah ini berawal pada awal Juli lalu di tahun ini. Tentang keluhan kesehatan yang sebenarnya sudah lama saya rasakan, namun baru terasa sangat tidak nyaman akhir-akhir ini. Ada satu tahun lebih saya merasakan adanya benjolan di payudara kiri saya, tapi tidak pernah saya ambil pusing karena saya pikir itu hanyalah kelenjar saja dan normal sifatnya.

Juli 2014
Saat itu saya merasa benjolan di payudara kiri saya semakin mengganggu. Ditambah adanya rasa gatal dan kondisi fisik permukaan kulitnya yang tidak seperti kondisi normal. Saat itu takut rasanya. Pikiran saya buyar dan terus memikirkan apa yang harus saya lakukan. Terlebih melihat silsilah keluarga dari ayah saya - kakak perempuan ayah, ada yang pernah menderita kanker payudara dan meninggal dunia beberapa tahun silam. 

Setiap hari pikiran saya hanya berputar-putar di sana. Takut dan bingung. Sementara semakin hari pula saya merasakan ketidaknyamanan fisik di payudara kiri saya. Rasanya tidak sakit jika tidak ditekan keras-keras, tetapi adanya benjolan sangat terasa setiap kali saya menyabuni tubuh saya saat mandi.

Pada waktu itu saya belum tahu persis gejala kanker payudara seperti apa. Tapi entah kenapa saat itu ketakutan saya seperti mengunci gerak langkah ini untuk mencari informasi tentang gejala kanker dan tumor. Rasanya bahkan seperti melihat hantu jika saat itu saya melihat judul artikel yang membahas tentang kanker payudara.

Ketakutan saya juga bertambah saat suatu hari tetangga saya ada yang meninggal dunia karena kanker payudara. Ibu saya dan teman-teman seperkumpulannya yang bergerak di bidang sosial lingkungan pernah membicarakannya di rumah. Mereka berbicara segala keluhan dan pengobatan yang pernah si almarhumah jalani. Mendengar itu, saya semakin terpojokkan rasanya. Ketakutan ini serasa berlipat ganda; saya takut sesuatu terjadi pada diri saya dan saya takut ibu saya khawatir atau semacamnya saat tahu keluhan saya ini.

Bulan Juli sebentar lagi sampai di ujung. Saat itu lebaran, tapi saya belum mampu memberitahukan keluhan saya ke ibu saya. 

Agustus 2014
Menggerakkan bibir ini untuk bicara seperti berat sekali.

Sebenarnya kali ini saya sudah hampir membicarakannya pada ibu tapi saya urungkan niat saya. Awal Agustus, Ibu saya harus ke luar kota selama seminggu untuk menghadiri acara keluarga. Saya tidak mungkin membebani pikirannya saat akan pergi ke luar kota.

Sementara itu saya jadi lebih sering sendiri di rumah. Dan lebih sering berpikiran yang tidak-tidak.

Suatu hari Ibu telepon dari luar kota untuk menyuruh saya ke dokter karena saya batuk berlarut-larut. Rasanya saya ingin bicara lewat telepon saja, tapi takut Ibu panik di sana. Akhirnya saya menunggu Ibu pulang ke Jakarta baru memberitahukannya semua.

Minggu kedua di bulan Agustus saya bilang semua ke Ibu. Dan Ibu biasa-biasa saja. Saya tahu Ibu berusaha tenang, tapi dalam hatinya kaget dan panik. Jantungnya mungkin berdegup kencang saat itu, tapi sikapnya tenang. "Besok kita periksa ke dokter ya.. "  Hanya itu kalimat yang ia katakan.

Akhirnya kami pergi ke dokter keluarga yang ada di dekat rumah. Dokter ini sangat paham riwayat kesehatan keluarga kami. Awalnya ibu berkonsultasi tentang batuk saya yang berlarut, kemudian ibu menanyakan benjolan di payudara kiri saya.

Saya hanya disuruh duduk dan membuka pakaian. Kemudian dengan posisi duduk, dokter hanya meraba payudara bagian bawah. Lalu terdiam. Setelah mengenakan pakaian saya kembali, saya duduk di depan meja konsultasinya.

Ibu saya menanyakan adanya benjolan tersebut pada dokter. Mimik wajahnya penuh kekhawatiran. Kemudian dokter memalingkan wajahnya dan bertanya pada saya, "Kamu suka nahan marah ya?". Saya terdiam. Saya tidak bisa mengiyakan sekaligus tidak bisa mengelak. Dokter saya ini memang seperti bisa membaca kondisi psikologis seseorang. Dia seperti sudah terbiasa melihat masalah kesehatan dari sisi psikologis. Teringat beberapa tahun lalu saat saya terkena chikunguya dan harus merasakan ngilu di persendian kaki, tangan dan jemari, saya hanya disuruh memejamkan mata dan olah nafas seraya berdoa, kemudian entah apa yang dia lakukan selama saya terpejam. Setelah beberapa lama, dan saya membuka mata, maka rasa ngilu di persendian saya hilang. Ajaib.

Ia bilang bahwa masalah kesehatan seperti ini lebih banyak disebabkan oleh stress dan pikiran. Memang, sejak kuliah saya semakin sering tidur larut malam untuk mengerjakan tugas-tugas. Tapi entah faktor penyebab yang mana yang paling dominan pada saya.  Sejak konsultasi saat itu, saya dianjurkan tidak terlalu lelah beraktivitas, tidak berpikiran negatif, dan menjaga pola makan.

Dokter juga menganjurkan saya konsultasi ke dokter ahli bedah.

***

Sesampainya di rumah, ibu saya seperti menahan panik. Ia mencoba tenang, sambil tangannya mengetik pesan singkat untuk adiknya (tante saya). Tante saya pernah kena kista di payudara kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, dan sembuh dengan obat - tanpa operasi. Ibu menanyakan soal dokter bedah ke tante saya. Percakapan melalui pesan singkat itu beralih ke percakapan telepon. Tentu saja tante saya kaget. Dia kira Ibu saya kenapa-kenapa. Tapi, dia lebih kaget lagi setelah dia tahu, saya yang kenapa-kenapa. Malam itu saya melihat tangis ibu pecah saat menerima telepon. 

Segera kami membuat jadwal untuk ke RS. Dharmais esok lusa, untuk deteksi dini kanker payudara.

Tepat hari Senin, saya diantar Ibu dan Tante memeriksakan diri ke unit deteksi dini kanker di RS. Dharmais. Yang saya tahu pemeriksaan payudara untuk deteksi dini dengan mammogram. Bayangan saya tentang deteksi dini kanker saat itu sudah mengerikan saja.

Unit deteksi dini kanker berada di basement, dekat dengan ruang radiologi. Ruangannya lumayan dingin. Pertama saya diwawancara singkat untuk mengisi kuesioner dari rumah sakit yang isinya pertanyaan-pertanyaan berkaitan pola hidup yang merujuk pada resiko kanker. Juga riwayat penyakit yang pernah diidap saudara yang kekerabatannya dekat. Setelah menimbang badan dan mengukur tinggi serta tensi, saya digiring ke kamar ganti pakaian. Saya disuruh mengganti baju dengan baju periksa. Suster bilang, saya bebas memilih warna bajunya. Dan sampai di ruangan, baju di lemari saya hanya menemukan dua warna. Hijau dan merah. Saya memilih hijau.

Berbalut baju periksa model kimono warna hijau, saya memasuki ruang periksa. Masih di unit deteksi dini. Dokternya perempuan, paruh baya. Dia menanyakan keluhannya berapa lama, apa yang dirasa dan keluhan-keluhan yang berkaitan. Kemudian dia menyuruh saya rebahan di tempat tidur periksa. Dia meraba payudara saya dan menemukan tiga benjolan di payudara kiri. Sedangkan di payudara kanan tidak ada.

Pemeriksaan unit deteksi dini selesai.

Kini saya digiring lagi menuju ruang radiologi, dimana saya akan di USG (bukan mammogram). Pasien di bawah usia 30 tahun tidak dianjurkan untuk mammogram akan tetapi USG. Lagi-lagi ruangannya dingin. Dan kali ini tambah dingin. Di ruang antre ada lumayan banyak pasien lain dengan keluhan yang sama menunggu namanya dipanggil untuk masuk ke ruangan USG. Saya agak gugup saat itu. Beruntung saya masih ditemani Ibu dan Tante saya. Kata Ibu, ayah saya akan menyusul sesaat lagi. Dia menunda meetingnya untuk ke rumah sakit. Sepertinya ibu baru memberi tahu ayah lewat pesan singkat saat itu. Sejak berpisah beberapa tahun silam, komunikasi ibu dan ayah saya tidak terlalu baik.

Setelah menunggu lumayan lama, akhirnya nama saya dipanggil perawat. Saya sudah boleh masuk ruang USG - tanpa boleh ditemani siapa pun.

Dan rupanya, di ruangan itu masih ada proses antre lagi. Para pasien yang akan USG menunggu tepat di depan ruangan radiologi. Suasananya hening dan sangat dingin. Pasien lain ada yang saling berbincang mengenai keluhannya dengan santai. Tapi saya tidak. Tanpa ponsel, tanpa tas, tanpa apapun di tangan saya, saya hanya duduk melipat kaki satu di atas kaki satunya dan bersedekap. Gambar-gambar di dinding ruang tunggu rupanya cukup menyeramkan untuk dilihat.

Pikiran saya kemana-mana. Apakah USG itu sakit, atau tidak. Lama atau sebentar. Hanya pertanyaan itu yang ada di kepala saya. Sementara AC ruangan makin dingin saja.

(Mungkin) hampir setengah jam menunggu, setelah tiga pasien selesai USG, nama saya dipanggil. Di ruangan yang penerangannya agak redup itu saya dipersilahkan duduk di depan meja konsultasi dokter. Menunggu pasien sebelum saya berberes dari bilik periksanya. Tak lama dia selesai, saya masuk. Dokternya perempuan, dengan raut wajah yang serius. Dia mulai memeriksa saya dengan alat USG. Saya sadar, ada beberapa titik yang dia tandai di monitor. Kemudian saya tanya, ada berapa benjolan Dok? Tapi dokter itu enggan menjawab, dengan alasan tidak terlalu ingat. Lalu saya diam, sampai ada pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh dokter radiologi itu. Akhirnya proses USG yang berjalan kurang lebih 15 menit itu selesai juga. Saya boleh pulang untuk kemudian mengambil hasil USG esok lusa.

***

Rabu pagi, saya sudah ada di RS. Dharmais untuk mengambil hasil USG. Hasilnya diambil di unit deteksi dini di lantai basement. Kemudian hasil tersebut dibawa ke dokter umum deteksi dini yang memeriksa saya pertama kali. Menurut hasil USG, ditemukan lima benjolan dominan di payudara kiri dengan diameter berbeda-beda. Diagnosa awal mengatakan kalau itu tumor jinak. Akan tetapi masih harus dikonsultasika ke dokter ahli bedah tumor agar lebih akurat lagi.

Untuk itu, hari itu juga saya, ibu dan tante menuju unit Cendana RS Dharmais untuk bertemu dengan dokter ahli bedah onkologi. Selesai mendaftar, saya diperiksa tensi, berat badan dan tinggi badan. Kemudian menunggu dipanggil untuk masuk ruang periksa.

Di ruang periksa, saya bertemu dengan dokter Alban. Dokter Alban menyapa saya dengan ramah sesaat ketika saya masuk ruangan. Dia mengatakan, "Waktu tadi saya tanya suster, pasien selanjutnya siapa, saya heran kok namanya Cintra. Kok nama kamu Cintra?". Saya tersenyum. Pertanyaan yang sangat sering ditanyakan sepanjang umur saya. Sapaan dokter Alban barusan, mencairkan suasana hati saya yang tidak terlalu tenang. Di ruang periksa, saya melakukan pemeriksaan kembali. Kemudian dokter mencoba melihat hasil USG saya. Hampir sama dengan keterangan dari unit deteksi dini, ada lima tumor di payudara kiri saya dan semua wajib diangkat. Harus dan wajib dioperasi, kata dokter.

Mendengar keterangan dokter, saya tidak begitu panik. Malah sedikit tenang. Karena saya lega, telah mendengar apa solusinya. Selepas dari konsultasi dengan dokter bedah onkologi, kami pulang ke rumah. Perlu diskusi dengan keluarga perihal rencana operasi ini.

Beberapa hari kemudian, saya kembali ke rumah sakit untuk menjadwalkan tanggal operasinya. Saat itu saya memilih untuk melewati masa menstruasi agar lebih nyaman. Maka, dipilihlah tanggal 11 September untuk operasi. Operasi tumor seperti saya sebenarnya bisa one day care alias sehari pulang, tapi saya dan keluarga memilih untuk rawat inap saja, mengingat efek dari bius total cukup membuat pusing. 


September 2014
Konsekuensi dari memilih rawat inap adalah saya harus mencari kamar rawat inap untuk hari H. Dan mencari kamar di RS. Dharmais sangat sulit, sebab banyak pasien-pasien kanker di sana bergantian keluar masuk rumah sakit untuk kemoterapi. Pasien operasi seperti saya harus 'waiting list' kamar dulu kalau ingin dapat kamar di hari H. Waktu itu saya ikut daftar tunggu pemesanan kamar kelas satu dan masih ada dua minggu menuju hari operasi saat itu.

Sembari rajin menelepon rumah sakit untuk menanyakan ketersediaan kamar, saya pun menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan pra operasi. Sebelum operasi, saya diharuskan untuk ambil darah untuk pemeriksaan lab dan rontgen tulang rusuk. Cek darah dilakukan dua hari sebelum operasi, dan saat itu saya belum juga mendapatkan kamar.

Sempat terpikir untuk pindah rumah sakit namun ayah saya kurang setuju. Alhasil, saya ikut 'waiting list' kamar VIP dan membatalkan 'waiting list' kelas satu agar lebih cepat mendapatkan kamar. Alhamdulillah, saya dikabarkan mendapat kamar di H-1.

***

Tanggal 10 Sepetember, saya sudah harus masuk kamar rawat inap. Dari rumah saya berkemas baju, peralatan dan berkas-berkas rumah sakit. Saat itu pukul tiga dan saya sudah duduk di ruang tamu menunggu ibu yang sedang berkemas, bersiap-siap untuk berangkat.

Namun, tak lama ponsel saya berdering. Telepon panggilan dari Suster Theresia, dari rumah sakit.

Suster bilang, operasi saya diundur menjadi tanggal 12 karena Dokter Alban ada jadwal operasi mendadak. Dan saya tetap menginap dari tanggal 10, mengantisipasi sulit dapat kamar.

Kamar saya di lantai 7

***
Dua hari menunggu detik-detik operasi lumayan membosankan. Hanya ada televisi dan ponsel di kamar. Saya lupa membawa buku gambar saya dan pernak-perniknya. Dan dua hari banyak saya habiskan bersama ponsel, membaca media online dan mengobrol dengan teman-teman lewat LINE atau whatsapp. Ada juga satu-dua orang teman yang sempat menjenguk sebelum operasi.

H-1 operasi saya disuruh puasa dari pukul 12 malam. Semakin dekat dengan hari operasi, kadang membuat saya mual pasca makan. Semacam stress atau entahlah.

Tanggal 12 Sepetember tiba.

Pagi hari semakin banyak saja keluarga yang menjenguk. Saya dijadwalkan operasi tanggal 12 September, pukul 12 siang di hari Jumat. Sekitar pukul 11:45 saya dibawa menuju lantai 3 ruang operasi. Di ruang itu semua keluarga berkumpul, diberi waktu beberapa menit untuk berdoa bersama sebelum masuk ruang operasi.

Ibu saya

Ayah saya

Tante saya

Setelah beberapa menit berdoa bersama, saya dibawa masuk ke ruang operasi. Di ruang operasi yang dingin itu terdengar Let it Go - nya Demi Lovato dan - entah apa judulnya, lagunya Raisa. Ada beberapa perawat yang memasangkan alat di tubuh saya. Ada yang memasang infus, ada yang memasang alat sensor detak jantung dan tensi. Tak lama berselang, Dokter Alban datang dan melihat hasil rontgen dan USG saya. Setelah itu dia menghampiri saya yang sejak berdoa tadi meneteskan air mata terus menerus. "Cintra, sebelum kita mulai operasinya, ada yang ingin Cintra sampaikan ke saya?"  Pertanyaan dokter Alban membuat saya mengernyitkan dahi dan berpikir, "Memangnya saya mau mati, Dok?" 

Saya akhirnya menggelengkan kepala. Dan suntikan anestesi mulai dimasukkan lewat infus. Seketika, semua pandangan saya kabur dan lampu-lampu di atap ruangan serasa berjalan. Sejak itu saya tidak sadar lagi apa yang terjadi.

***

Terdengar sayup-sayup suara tayangan televisi, dan saya mencoba membuka mata saya. Saya tidak mengenali ruangan dimana saya berada saat itu. Di sebelah kanan dan kiri saya ada pasien yang juga berpakaian hijau terkapar tak berdaya seperti saya. Mereka masih dipasang infus, sedangkan saya tidak. Masih meneteskan air mata, saya melihat ke dinding. Pukul 15:10. Dada saya sesak seperti ditekan sesuatu secara kuat. Saya bertanya-tanya ke diri sendiri, apakah operasinya sudah selesai?

Seorang dokter co-ass datang mendekati saya. Ia mencopot selang oksigen di hidung saya. Lalu saya bertanya, infus saya kemana. Dia menjawab, infus saya ada, lalu dia merapikan selimut saya. Saya akhirnya tersadar jika dada saya terbebat perban pasca operasi. Bebatnya sangat kencang dan membuat saya agak sesak nafas. Kemudian saya terdiam seraya menunggu giliran saya dipindahkan ke ruangan saya di lantai 7.

Pasien di sebelah kanan dan kiri saya sudah dipindahkan ke ruangannya. Tapi selang setengah jam, saya belum dipindahkan juga. Dokter co-ass bilang, kunci kamar saya dibawa salah satu anggota keluarga jadi belum bisa dibuka oleh perawat. Namun, lima menit kemudian kegelisahan saya menunggu dipindahkamarkan usai juga.

Di ruangan tempat saya berdoa tadi, saya dipindahkan dari tempat tidur operasi ke tempat tidur rawat inap. Saya didorong menuju lantai 7. Pandangan saya masih kabur. Tapi saya tahu persis siapa saja yang ada bersama saya saat itu.

Sesampainya di kamar, sudah ada banyak orang. Teman-teman, kerabat, dan keluarga dekat ada semua. Entah kenapa saya masih meneteskan air mata. Hingga dua teman kuliah saya menghampiri saya, saya mulai bisa tersenyum dan membalas sapaannya. Hanya saya belum bisa banyak bergerak, karena sedikit saja pergerakkan rasanya seperti menarik luka operasi. Satu hal yang saya tahu; tumor saya sudah diangkat.

Bersama teman-teman

Tumor yang telah diangkat 
Hari-hari pasca operasi
Setelah dirawat selama satu minggu pasca operasi, saya diperbolehkan pulang. Masih dengan bebat di dada dan tidak boleh terkena air. Satu minggu kemudian barulah saya kontrol ke RS dan perban boleh dibuka. Ada dua selang yang dipasang di luka operasi dan itu menyeramkan untuk saya.

Sejak masa pemulihan, saya masih harus kontrol ke rumah sakit dan mengambil hasil cek lab patologi. Alhamdulillah, tumor yang telah diangkat itu tergolong jinak dan tidak perlu penanganan khusus lagi pasca operasi. Hanya saja, saya sudah tidak diperbolehkan makan daging merah (daging yang berasal dari hewan berkaki empat), makanan berMSG, dan berpengawet. Saya dianjurkan mengurangi asupan-asupan hewani yang tidak alamiah, seperti ayam negeri dan ikan air tawar. Saya juga tidak diperbolehkan makan kacang terlalu sering karena dapat memicu hormon estrogen.

Salah satu faktor penyebab masalah kesehatan seperti yang saya alami adalah laju hormon estrogen yang berlebih. Ada banyak faktor memang, termasuk pola hidup yang tidak sehat dan stress. Tapi alangkah baiknya saya menjauhi faktor-faktor penyebab itu. Sebab tumor bisa jadi muncul kembali jika kita tidak menjaga pola hidup kita. Oh, ya.. Jangan lupa juga bagi kalian yang perempuan, untuk SADARI (Periksa Payudara Sendiri) setiap satu minggu setelah selesai menstruasi ya..

Semoga kita dapat selalu sehat dan menjaga kesehatan :)


Salam sayang,

Cintra


5 komentar:

  1. Cintra..
    semoga cepet pulih ya sayang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak ya Mbak Melly buat doanya :)
      Semoga kita selalu diberi kesehatan. Amin.

      Hapus
    2. Kak cintra cepet sembuh ya.. O:)

      Hapus
    3. Makasih Audy, salam buat keluarga di Bali ya sayang :)

      Hapus

Any comments?