Rabu, Oktober 11, 2023

Bercerita Tentang Bapak Kita

sumber foto: fineartamerica

Pekan lalu, saya berbincang dengan seorang kawan seusai sebuah acara perayaan. Kami memesan minuman di kedai kecil lalu berbincang dari topik satu ke topik lainnya. Lalu kami beranjak ke topik keluarga. Memang, topik keluarga sejatinya bukanlah sebuah topik yang mudah untuk dibicarakan ke satu sama lain. Butuh keberanian dan juga kerapuhan yang terang-terangan ditunjukkan untuk bisa terhubung sampai ke topik tersebut. Ya, kami mulai cair ke arah sana. Spesifiknya mengobrol soal bapak kami satu sama lain.

Bermula dari bagaimana bapak saya tumbuh besar. Bapak saya bertumbuh di suatu daerah di Jawa Tengah dengan budaya komunal yang sangat lekat dengannya. Kalau kata orang-orang sih guyub. Jelas saja, ia lahir sebagai anak ke tujuh dari sembilan bersaudara, sebagai anak laki-laki terakhir, karena adik-adiknya perempuan semua. Apa yang terbayangkan dengan latar belakang tersebut? Ya, tentu saja sistem hierarki keluarga. Siapa abang, siapa kakak, siapa adik, semuanya sudah mesti tahu posisinya dan tak lupa panggilan sapaan hierarkis, seperti 'Mas' dan 'Mbak'.

Bagi saya yang tumbuh besar di kota metropolitan sedari kecil sampai detik ini, hal itu saja sudah membuat mata terbelalak. Bukan soal panggilan sapaan hierarkis, namun hidup bersama dengan kakak dan adik sebanyak itu ditambah lagi bapak dan ibu. Satu rumah bisa sampai bersebelas. Sederhananya, ruwet bagi saya yang kalau melihat kerumunan di mall rasanya ingin kabur secepatnya, karena energi sosial saya cukup minim sebagai seorang introvert.

Mengenai masa kecilnya seperti apa, saya hanya bisa menebak. Pernah suatu waktu di masa liburan caturwulan semasa SD kami sekeluarga pulang kampung ke kampung bapak saya, di lereng Gunung Merapi. Pada masa itu di tahun 2000an awal, sejauh mata memandang adalah hamparan sawah nan hijau, parit kecil yang mengelilinginya, dan kebun tembakau. Ada pula sungai dan bendungan yang airnya jernih sekali dengan bebatuan besar sisa-sisa semburan vulkanik. Dalam bayangan saya, pastilah masa kecil di daerah seperti ini sangat menyenangkan-di luar dari hidup bersebelas tadi. Tapi bukankah, hidup di lingkungan yang se-asri itu juga barang tentu sepadan dengan konsekuensi bahwa kita mesti guyub dengan keluarga dan tetangga sekitar. Buktinya, saat saya berlibur di kampung bapak, semua orang yang lewat dan berpapasan sudah pasti menyapa dan berhenti sejenak untuk basa-basi.

Saya tidak benar-benar mengenal bapak saya dan masa kecilnya. Atau boleh jadi, memang tidak mengenal. Saat pertengahan kelas 3 atau 4 SD bapak saya baru saja mendapat pekerjaan tetap yang mengharuskan dia ke luar pulau Jawa selama beberapa waktu. Sebetulnya saya juga lupa kurun waktu pastinya, karena beberapa memori itu sudah saya reduksi. Itu adalah momen saya tahu bahwa bapak saya tidak akan lagi menjadi seorang pengangguran atau kerja serabutan. Momen yang membingungkan. Di satu sisi tugasnya sebagai pencari nafkah baru saja dimulai. Tapi di sisi lain, dia tidak ada di sisi kami, bersama di hari-hari kami. Sekejap dari momen itu, saya lupa jika saya punya bapak. Karena ia lama sekali pulang ke rumah.

Obrolan saya dan kawan saya di kedai mengalir begitu saja. Seraya ia menyeruput es thai tea dan saya hanya menghabiskan air mineral dari botol kemasan. Perbincangan soal bapak belum usai.

Kawan saya bercerita tentang bapaknya yang seorang peminum (minuman beralkohol). Kalau sudah mabuk, pastilah anak jadi sasaran pukul jika tidak patuh dengan ucapannya. Tapi hal itu hanya terjadi pada anak, tidak dengan istri. Pada istrinya, dia laki-laki yang bisa diandalkan. Seorang suami yang memberikan penghidupan layak dan juga menyerahkan pengelolaan keuangan pada istri secara penuh. Bahkan rela pasang badan jika istrinya dibahas-bahas oleh keluarga besarnya. 

Sedih. Empati saya terenyuh saat mendengar cerita kawan saya dan traumanya. Ada juga perasaan heran, dan bertanya dalam hati apakah bapak saya saja yang tidak tahu caranya memberikan penghidupan yang layak? Apakah hanya dia yang setelah mendapat penghidupan layak malah lantas meninggalkan kami?

Kelas 4 SD akhir kalau tidak salah, bapak sempat pulang sejenak dari luar pulau. Seingat saya dulu tidak ada momen selebrasi atau semacamnya. Saya hanya ingat kami sempat menjemput bapak ke bandara lalu pulang. Tidak ada kado, oleh-oleh, atau semacamnya. Bapak hanya menunjukkan foto-foto selama ia bekerja. Foto bersama kawan di pekerjaannya yang saat itu di bidang hiburan. Ada perasaan canggung saat berinteraksi dengan bapak waktu itu, karena sekian lama kami tidak bertemu dan bapak hadir kembali dengan sesuatu yang berbeda. Entah apa.

Siang itu, saya pulang sekolah. Seperti biasa setelah ganti baju rumah dan istirahat sebentar biasanya saya pergi mengaji. Tapi nampaknya siang itu agenda mengaji harus diabaikan. Kamar tidur kami berempat dipenuhi barang-barang pasca bapak pulang. Di ranjang ada beberapa tupperware dengan isi perkakas random sampai obat-obatan. Tak tahu inisiatif dari mana kala itu, rasa penasaran saya muncul dan bertanya pada ibu, "kotak yang ini isinya apa sih?" sambil menunjuk ke arah kotak berukuran sedang berwarna transparan dengan tutup berwarna kuning. Ibu menjawab saat itu, "Ya, dibuka aja wong punya bapaknya sendiri".

Sejak itu, kamar kami porak poranda karena ibu mengamuk setelah melihat isi kotak tersebut.

Selembar foto dengan visual bapak dan seorang perempuan di pangkuannya. Jangan tanya selebihnya, karena foto itupun sudah langsung dirobek oleh ibu. Saya hanya bisa diam melihat ibu mengamuk tanpa sepatah kata. Boleh jadi saya polos karena saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Di usia saya saat itu, sulit untuk mencerna adegan tadi dengan proses yang cepat. Ditambah pula, hari-hari sebelumnya bapak memamerkan foto-fotonya bersama kawan selama kerja di luar pulau dengan ringan hati. Adegan itu sekilas seperti adegan di sinetron-sinetron tahun 1990-2000an awal.

Iya, dramatis.

Ternyata hari-hari setelah adegan itu berjalan aneh bagi saya. Konflik bapak ibu yang sebetulnya sudah terjadi sebelum itu, juga menambah berlapisnya konflik ini. Setelah terkatung-katung sekian tahun, akhirnya surat dari pengadilan agama datang juga. Tepat saat saya SMP kelas 1.

Momen yang ngeri saat itu. Sebab bayangan saya mengenai perceraian orang tua adalah harus memilih akan tinggal dengan siapa, persis seperti perseteruan selebriti ibukota di pemberitaan program gosip. Ternyata hal ngeri itu tidak terjadi. Tidak ada perseteruan atau perebutan anak. Semua hak pengasuhan diserahkan kepada ibu tanpa bertele-tele.

Belakangan saya tahu, semua itu karena bapak nikah lagi. Saya tahu belakangan. Setidaknya saya diberi tahu belakangan saat saya sudah dewasa, sudah punya pekerjaan saat itu oleh bapak langsung. Singkatnya, saya tahu belakangan ya sesederhana karena saya tidak mau tahu saja.

Bercerita tentang bapak, sepertinya tidak ada habisnya. Bukan kali pertama juga saya mendengar cerita tentang bapaknya kawan saya. Tanpa bermaksud menjadi kaum mendang-mending, ada juga bapaknya kawan saya yang malah diam-diam menikah lagi atas nasihat seorang pemuka agama tanpa menceraikan istri pertamanya. Secara teknis, poligami. Tapi bukankah syarat poligami dalam agama adalah 'mampu'? Karena nampaknya syarat tersebut tidak terpenuhi di garis start. Terutama finansial.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk bersyukur. Tidak sama sekali. Saya tidak merasa bersyukur karena bapak saya tidak memukul saya, alih-alih 'hanya' selingkuh dan menelantarkan keluarganya. Tidak begitu konsepnya. Saya rasa kita pantas kecewa dan marah dengan siapapun dia.

Mungkin karena kita masih hidup di tatanan dunia yang belum ideal, kita perlu mendidik dan mengajari anak laki-laki untuk tahu contoh-contoh sikap baik, menghargai, dan tanggung jawab. Tak lupa memberi pelajaran juga dari contoh yang buruk.

Kenapa harus anak laki-laki? Bukankah harusnya perempuan juga diajarkan konsep-konsep tadi?

Saya kira, anak perempuan sudah terlalu banyak tuntutan sedari kecil. Anak perempuan dibesarkan dengan khayalan utopis menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak, harus bisa mengerjakan pekerjaan domestik dan segala tetek bengek lainnya yang membuat muak. Sementara sejatinya perempuan juga bisa punya pilihan untuk tidak melakukan tuntutan sosial yang mendarah daging tersebut, tanpa menyakiti pilihan atau merugikan orang lain.

Sayangnya, tuntutan mengenai khayalan utopis tadi tidak ditanamkan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki hanya tau bermain bersama teman-temannya, menjadi tangguh, pemberani, menjadi pemimpin di segala lini kehidupan, dan sifat-sifat maskulin lainnya yang membosankan. Mereka tidak diajari bagaimana caranya memeluk kesedihan, mempraktikkan kasih sayang dan bertutur lembut.

Setidaknya yang saya perhatikan begitu adanya. Cerita kawan-kawan saya tentang bapak-bapak mereka, sudah cukup bagi saya. Saya tidak berharap cerita manis seperti kisah populer Sabtu Bersama Bapak-yang saya sendiri tidak membaca buku ataupun menonton filmnya, karena menurut saya tidak relevan dengan hidup dan relasi saya dengan bapak.

Layaknya menonton film atau membaca buku, kita bisa memilih film dan buku apa saja yang akan kita nikmati, kapan dan di mana. Pun idealnya kita bisa memilih jalan hidup dan keputusan kita tanpa paksaan. Namun tentunya kita tidak bisa memilih akan dilahirkan dari orang tua yang mana.

--

Jakarta, 16 Februari 2023 - 03:39 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Any comments?