Rabu, Agustus 31, 2016

Kilas Balik: HORAS AMANG, Tiga Bulan yang Memberi Makna

Foto: Teater Legiun
Sabtu malam 27/08/2016, saya berkesempatan untuk menyaksikan sebuah pementasan teater yang berjudul Horas Amang di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pementasan teater ini digagas oleh sebuah kelompok teater bernama Teater Legiun. Teater Legiun berawal dari kelompok teater gereja yang kemudian melebarkan sayapnya untuk dapat menebarkan nilai-nilai positif ke cakupan yang lebih luas lagi, yaitu masyarakat umum. Mereka memiliki tujuan yaitu mengedukasi masyarakat mengenai nilai-nilai/budi luhur melalui pertunjukkan teater. Tidak sampai di situ, mereka juga menyumbangkan hasil penjualan tiket pada tiap pertunjukkan mereka untuk pihak-pihak yang memerlukan bantuan finansial. Pada pementasan kali ini mereka menyumbangkan hasil penjualan tiket ke Komunitas Gumul Juang, sebuah organisasi pelayanan teologi sosial yang didirikan oleh beberapa alumni dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta serta salah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 2009.

Pementasan yang berjudul Horas Amang ini merupakan produksi ke-9 Teater Legiun. Horas Amang berkisah tentang sebuah keluarga yang terdiri dari seorang duda, Amang Binsar Sagala (Amang, sebutan bapak dalam bahasa Batak) dan ketiga anaknya. Ketiga anaknya itu adalah Tarida, Maruli dan Pardamean (Dame). Mereka bertiga terbuai dengan hal-hal duniawi melalui karir, jabatan dan uang.

Tarida, si anak pertama dan perempuan satu-satunya, bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan. Hidupnya disibukkan dengan pekerjaannya tersebut. Terlebih apabila bosnya - Pak Boston, telah menelepon dan menginstruksikan hal-hal menyangkut pekerjaan di kantor. Anak kedua Amang Sagala bernama Maruli. Ia bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Hari-harinya hampir serupa dengan kakak sulungnya, disibukkan dengan pekerjaan. Sebagai dokter muda yang kinerjanya baik ia seringkali dipercaya atasannya - Pak William, untuk mengerjakan beberapa tugas penting. Terakhir, si bungsu, Pardamean atau yang kerap disapa Dame, adalah pemuda yang mencoba peruntungannya menjadi koki namun gagal karena ia keras kepala dan tidak bertanggung jawab. Kegemarannya berjudi membuat ia kewalahan dengan utang-utangnya.

Keluarga Amang Sagala hidup dan tinggal di sebuah permukiman bernama Kampung Toba. Kampung Toba bukanlah sebuah nama desa di Tapanuli melainkan sebuah permukiman bergaya Batak yang terletak di kota besar. Para perantau yang notabene adalah kelahiran Tapanuli, merasa senang tinggal di Kampung Toba karena dapat mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman. Warga Kampung Toba yang juga merupakan sahabat karib Amang di antaranya adalah Togap, Gordon, Haposan, Parulian, dan Patar, si buta yang bijak. Mereka tak segan-segan menolong Amang di kala susah atau butuh bantuan. Terlebih Parulian - seorang pengacara yang juga teman main catur Amang, ia sudah dianggap seperti anak kandung Amang sendiri sebab seringkali ketiga anak Amang acuh tak acuh. 

Di rumahnya, selain bersama ketiga anaknya, Amang tinggal bersama adik perempuannya dan satu orang keponakan perempuan (anak dari adik perempuannya). Namboru (sebutan untuk adik perempuan amang) dan Nauli - anak perempuan namboru, tinggal di rumah itu sejak istri Amang meninggal dunia. Istri Amang berpesan agar namboru bisa menjaga dan merawat anak-anak Amang. Sejak itu rumah mereka terasa ramai dan hangat, walau menurut anak-anak Amang rumah itu kian sempit sebab Namboru dan Nauli ikut bernaung.

Suatu hari Amang Sagala berulang tahun. Amang memasak berbagai makanan untuk merayakan hari lahirnya itu bersama keluarga. Akan tetapi harapan untuk merayakan ulang tahun bersama anak-anaknya pupus karena ketiganya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tarida sibuk dengan tugasnya sebagai sekretaris Pak Boston, yang kebetulan hari itu juga berulang tahun. Ia baru ingat setelah Pak Boston mengingatkannya akan hari ulang tahun ayahnya. Pak Boston ingat, Tarida pernah mengatakan bahwa hari ulang tahun amangnya sama dengan hari ulang tahun Pak Boston. Setelah ingat, seketika Tarida menelepon dua adiknya untuk merayakan hari spesial itu di restoran Siantar. Segera mereka bertiga membuat janji dengan Amang untuk bertemu di restoran Siantar.

Berjam-jam Amang menunggu ketiga anaknya itu di restoran namun tak satupun dari mereka yang datang. Rupanya, lagi-lagi ada keperluan mendadak terkait pekerjaan mereka itu. Amang yang kecewa terpaksa pulang dan menyantap makanan yang telah ia masak sendiri di rumah bersama Namboru dan Nauli.

Kekecewaan Amang tak sampai di situ. Maruli, si dokter spesialis penyakit dalam kebanggaan Amang tiba-tiba meminta izin untuk menikahi seorang perempuan. Perempuan itu tak lain adalah Debora, anak Pak William-atasan Maruli. Setelah kedua pihak mempelai bertemu, nampaknya ada yang tak bisa disepakati oleh Amang selaku ayah dari mempelai laki-laki. Pak William memberikan 'uang kesepakatan' yang jumlahnya fantastis kepada Amang. Dengan adanya uang itu, Pak William ingin di pesta pernikahan Maruli dan Debora nanti tidak dihadiri oleh sanak saudara pihak mempelai laki-laki. Itu artinya segenap warga kampung Toba tidak diperkenankan hadir.

'Uang kesepakatan' tersebut bagaikan penghinaan bagi keluarga Amang. Walaupun hidupnya miskin bukan berarti ia bisa 'dibeli' dengan uang. Ia marah besar karena harga dirinya sebagai orang Batak telah diinjak-injak. Ia pun mengembalikan uang tersebut di depan muka Pak William. Namun demikian pesta pernikahan Maruli tetap dilaksanakan tanpa kehadiran sanak saudara Kampung Toba. Di tengah kemeriahan pesta pernikahan itu hati Amang sangat kecewa.

Tarian pembuka cerita (dokumen pribadi)

Tarian saat pernikahan Maruli (dokumen pribadi)

Tarian saat pernikahan Maruli (dokumen pribadi)
Tak cukup Tarida dan Maruli yang melukai hati Amang. Dame, si bungsu, dikejar-kejar preman penagih utang. Ia kebingungan bagaimana caranya membayar utang hasil kalah judinya itu. Utang Dame berjumlah 10 juta dan tentu saja ia tak memiliki uang sebanyak itu. Beruntunglah Dame bertemu dengan Arta. Gadis dari sebuah desa di dekat Danau Toba sana yang merantau ke kota hanya untuk mengejar cintanya. Arta memiliki keyakinan bahwa Dame, cinta masa kecilnya, akan menjadi jodohnya. Hal itu berawal dari sebuah janji yang mereka ucapakan tatkala 18 tahun yang lalu Dame ditolong oleh Arta setelah hampir tenggelam di Danau Toba. Sebuah janji untuk bertemu kembali suatu saat.

Dalam keadaan yang terhimpit itu, akhirnya Dame ditolong oleh Arta. Uang 5 juta bekal dari kampung diberikan seluruhnya untuk membayar separuh dari utang Dame. Arta yang luntang-lantung di kota akhirnya menumpang tinggal di rumah Amang. Awalnya kehadiran Arta ditolak habis-habisan oleh Tarida, tetapi karena sikap Arta yang tulus akhirnya Amang memperbolehkan Arta tinggal di rumahnya. Rumah itu semakin ramai dan hangat dengan kehadiran Arta. 

Keadaan keluarga amang yang serba sederhana itu membuat Maruli dan Debora memiliki sebuah ide, yaitu menjual seluruh tanah di kawasan kampung Toba dan mendirikan rumah kontrakan dengan konsep yang lebih modern. Ide itu diutarakan kepada saudaranya, Tarida dan Dame. Awalnya Tarida dan Dame kaget bukan kepalang mendengar ide tersebut. Namun setelah mendengar bahwa uang hasil penjualan tanah itu akan dibagi tiga sama rata, mereka pun setuju.

Maka, majulah mereka bertiga beserta Debora menghadap Amang untuk mengutarakan niatnya tersebut. Sudah tentu Amang marah besar mendengar niatan itu. Keadaan itu membuat hubungan Amang dan ketiga anaknya kian memburuk. Namboru dan Nauli juga diseret-seret oleh ketiga anak Amang dalam permasalahan ini. Kehadiran mereka dinilai anak-anak Amang, hanya sebagai pengganggu di rumah itu.

Tak bisa diam dengan ulah ketiganya, Amang, didampingi Parulian sebagai pengacara yang ia percaya akhirnya menuntut anak-anaknya. Surat tuntutan yang datang ke ketiga anaknya itu dibaca dengan mata terbelalak. Tarida, Maruli, dan Dame terkejut melihat besarnya nominal uang yang harus mereka bayar dalam surat tuntutan tersebut. Tak terima dengan itu, mereka akhirnya datang menemui ayahnya. Dengan segala bujuk rayu ketiganya memohon agar Amang mencabut tuntutannya.

Mereka bertiga merasa tidak sanggup membayar sejumlah uang kepada Amang sesuai dengan yang tertera pada surat tuntutan itu. Mereka merasa bahwa Amang otoriter dan tidak adil meminta sejumlah uang kepada anaknya sendiri. Saat itu pula pengacara Amang, Parulian bertindak. Parulian berusaha membukakan mata anak-anak Amang, bahwa jumlah uang yang tertera itu belum ada apa-apanya dibandingkan kerja keras dan jerih payah Amang membesarkan Tarida, Maruli, dan Dame untuk sekolah dan menjadi seperti sekarang. Belum ada apa-apanya dibandingkan pengorbanan Amang untuk menyekolahkan Maruli sampai menjadi dokter spesialis, membelikan segala kebutuhan pokok dan remeh temeh yang dibutuhkan Tarida serta Dame.

Karena mereka tak sanggup membayar uang tuntutan, maka Amang memiliki lima permintaan yang harus dilakukan oleh anak-anaknya dalam kurun waktu tiga bulan. Permintaan itu adalah; 1) sarapan pagi bersama, 2) menelepon dan menanyakan kabar Amang secara rutin setiap hari kerja, 3) khusus untuk Tarida, kencan buta dengan delapan pria - empat pria pilihan Amang dan empat lainnya boleh pilihan Tarida sendiri, 4) Maruli dan Debora tinggal bersama di rumah Amang, dan 5) Dame rutin memberikan uang sebesar 6 juta setiap bulan pada Amang. Walau alot, akhirnya permintaan itu disepakati oleh ketiganya.

Perlahan kelima permintaan tersebut dijalani oleh ketiga anak Amang. Tarida, si anak pertama akhirnya menemukan tambatan hatinya, yaitu Parulian, teman main catur dan juga pengacara Amang. Mereka menikah dan hidup bahagia. Debora, istri Maruli menjadi kerasan dan merasa memiliki keluarga setelah tinggal di rumah Amang. Ia juga jadi banyak belajar tentang adat istiadat Batak dan khususnya tentang tutur sapa hierarkis dalam budaya Batak. Terakhir, si bungsu Dame, ia menjadi sosok pekerja keras yang pantang menyerah karena terbiasa untuk mencari uang secara mandiri. Ia juga akan segera menikah dengan Arta, gadis dari Toba sana yang tulus mencintainya.

Tiga bulan yang penuh makna itu hampir usai. Amang lega karena kini tugasnya sebagai orang tua hampir tuntas. Ia tak khawatir lagi perihal generasi penerusnya akan jadi seperti apa. Namun, kini kondisi kesehatan Amang tak sebaik dulu. Belakangan ia sering terjatuh tanpa sebab. Hal itu membuat anak-anaknya cemas. Rupanya, selama ini Amang menyembunyikan penyakitnya dari ketiga anaknya. Penyakit kanker usus itu kini sudah semakin parah dan waktu Amang untuk bersama keluarganya tidaklah lama lagi.

Betapa hancur hati Maruli mendengar penyakit ayahnya. Sebagai dokter spesialis penyakit dalam, ia tidak berbuat apa-apa untuk itu.  Amang juga menolak niat Maruli untuk mencoba mengobatinya. Ia tidak ingin menyusahkan anak-anaknya untuk itu. Asal anak-anaknya telah bahagia dan memegang nilai-nilai luhur yang seharusnya, itu sudah cukup baginya.

Bersama segala memori akan tiga bulan yang memberi makna untuk selamanya itu, kini Amang sudah dapat beristirahat dengan tenang di Surga sana. 

***

Keseluruhan cerita tersebut dikemas sangat apik oleh teater Legiun. Lakon yang naskahnya digarap oleh Ibas Aragi yang juga sebagai Sutradara ini, membuat penontonnya larut dalam emosi-emosi dalam cerita. Humor yang terselip, konflik yang diangkat, pesan moral yang tersirat dan tersurat, kekuatan karakter tokoh, alunan musik Batak, efek cahaya, dan tentunya tarian-tarian pendukung, semuanya dikolaborasikan dengan sangat baik. Saya berharap Teater Legiun bisa konsisten berkarya dan menampilkan lakon-lakon yang lebih seru lagi, sehingga dapat terus menebarkan berkat ke sesama! 

Mauliate! Ditunggu pementasan berikutnya.

Horas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Any comments?