Titik-titik keringat yang keluar dari setiap pori-pori kulit berkilauan terpapar remang cahaya dalam kamar itu
Keringatku dan keringatmu menjadi satu
Lebur dan menetes ke hamparan kain di atas ranjang kayu cokelat tua nan kokoh
Entahlah apa yang kita rasa malam itu
Cahaya lampu remang hanya mengantarkan bayangan siluet tubuhmu ke retina mataku
Hilang sudah malu
Dua raga telanjang dalam satu rasa
Merasa dan mengadu
Saling berkaca ketidaksempurnaan dan kecacatan
Dua raga luntur dalam cerita
Terengah-engah dalam meraba kebimbangan mencari arah yang tak pernah kita temui
Ada satu pagutan di bibir,
lalu air mata dari salah satunya menetes, meresap masuk ke sela bibir
Seperti inikah kau artikan sayang, kasihku?
Rupanya malam menontoni kita
Ia tahu, sayangku ini bukan bualan
Aku tak tahu apakah bulan serta segenap prajurit bintang di langit pekat ikut menyaksikan kita di sini
Belai dan buai manja ini mungkin untuk yang terakhir kalinya, kasihku
Setidaknya masih dapat kita rasa kehangatan di tengah sepi dan dinginnya malam di luar sana
Setidaknya untuk yang terakhir
Cerita ini kusesapi dengan senyuman, kemudian diam
Tak ada yang perlu ditagih sebab tak ada yang pernah berhutang janji
Mungkin sesal tak pernah mudah kutemukan di tiap sudut kamar
Namun kecewa datang sesaat tanpa diundang
Sekarang bolehlah kita berpagutan
Hingga lelah lantas terlelap
Sampai kelak satu kecupan mendarat di keningmu
Sampai silau matahari pagi yang mengintip dari ventilasi melebur kisah ini menjadi embun pagi
Saat itu kau akan mengenangku dalam aroma pagi
Dan kisah kita di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Any comments?