Sejak matahari terbenam dan langit mulai gelap, aku terdiam dan hanya dapat melihat punggungmu. Aku terdiam dan berdiri di sudut jalan yang aspalnya tidak mulus lagi. Ada debu dan kepingan-kepingan cerita yang berserakkan di atasnya. Aku tak merubah posisi kakiku sesentipun.
Punggungmu terlihat jelas di depanku. Setelan celana jeans dan jaket kegemaranmu juga terlihat jelas. Sekitar dua meter di depanku. Namun aku tak berdaya untuk meraih bahumu.
Tubuhmu masih terlihat jelas walau dari belakang walau hanya diterangi remang lampu kota. Sesekali kau menengok ke kanan dan ke kiri hanya untuk memantau kendaraan karena kau ragu untuk menyeberang. Siluet wajahmu dari samping, mengajakku untuk tersenyum.
Kau tak pernah tahu aku ada di sudut jalan ini. Aku pun tak ingin kau tahu. Kau hanya tahu, kau harus tiba di seberang jalan dengan selamat. Lalu mungkin kau pulang ke rumahmu.
Aku, pemerhati punggungmu, hanya bisa memandangimu dari kejauhan.
Gugup terdiam.
Angin malam yang menerbangkan dedaunan kering serta debu seakan menamparku dan menyadarkanku bahwa aku tak bisa meraih bahumu!
Menyeberanglah..
Menyeberang dan berdirilah di trotoar
Berbalik badanlah.
Melihat punggungmu dari kejauhan hanya akan menambah sesak dadaku yang tak kuasa menahan rindu. Membuatku berteriak, lalu berteriak. Memanggil namamu dalam resahku.
Aku selalu berteriak dalam ragu dan takut, dalam sayang yang tersamarkan oleh riuh klakson saat kau menyeberangi jalanan ibukota. Berdengung dan bising.
Aku rindu wajahmu. Ya, wajahmu.
Aku rindu tiap raut wajahmu.
Menolehlah.
Aku tidak ingin kau tahu.
Karena mungkin rasa ini hanya secuil kecil dari sampah ibukota yang luput dari sapuan petugas kebersihan.
Yang akan terbang terbawa angin kemudian masuk ke saluran air dan menyumbat aliran air.
Maka, sebaiknya kau tak tahu.
Jika kau tak sanggup menoleh, maka berdiamlah agak lama..
Aku ingin melihat punggungmu
Lebih lama lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Any comments?