Minggu, Desember 01, 2013

Secuil Cerita Tentang Taksi

Ada sedikit cerita dari saya tentang taksi. Ini mungkin baru secuil dari pengalaman-pengalaman orang lain yang pernah naik taksi. Jadi, pada tanggal 14 November 2013 lalu, saya hendak pulang ke rumah seusai melakukan uji coba soal di sebuah sekolah SMA. Waktu itu sudah sore, sekitar pukul 17.00 dan saya ada jadwal mengajar pukul 19.00.
Jarak rumah saya memang tidak terlalu jauh dengan SMA tersebut. Namun, letak rumah saya yang berada di dalam, menuntut saya untuk berjalan kaki setelah turun angkutan umum. Sehingga saya memutuskan untuk naik taksi yang kira-kira ongkosnya sebanding dengan ongkos angkutan umum serta lelahnya berjalan kaki.

Saya sudah cukup sering naik taksi dari daerah dekat SMA tersebut. Lumayan banyak taksi yang berseliweran di sana tiap sorenya, dari yang berwarna biru ada lambang burungnya, berwarna putih bertarif bawah, sampai taksi abal yang body mobilnya rada penyok.

Waktu itu kebetulan saya kedapatan taksi berwarna putih, bertarif bawah, dan berlampu kuning di bagian atasnya. Si taksi putih ini memang lebih banyak daripada taksi biru kala itu. Seperti kebanyakan orang yang hendak naik taksi, saya melambaikan tangan saya dari jarak (kurang lebih) lima meter. Si supir pun menerima kode lambaian tangan saya dengan baik. Ia menganggukkan kepala dan mengacungkan jarinya seakan memastikan kembali lambaian tangan saya tadi.

Kaca jendela sang supir yang tadinya terbuka, telah ditutup oleh sang supir yang kira-kira berumur  20 akhir atau 30 awal itu dan berpakaian kurang rapi. Taksi itu sudah ada di depan saya berdiri, dan saya pun membuka pintu mobil bagian belakang. 

Belum juga saya duduk, sang supir menanyakan tujuan saya.

"Ke arah mana?"

Saya jawab, "Otista"

"Oh, ya sudah naik!" Balas si supir.

Saya pikir wajar di saat sore dan macet, seorang supir taksi menanyakan tujuan penumpangnya terlebih dahulu karena takut terjebak macet.

Saya menutup pintu dan sudah duduk di dalam taksi itu. Ada alunan musik dangdut irama house berbahasa Padang yang tidak biasa saya dengar ketika saya menaiki taksi putih tarif bawah tersebut. Kemudian sang supir memperlambat taksinya, lalu bertanya kepada saya, "Pake minimum payment ya?!"

Awalnya saya tidak terlalu mendengar pertanyaan dia, karena kurang jelas di telinga saya. Dia menyebut 'payment' seperti menyebut 'permen'. Maka itu, saya bertanya lagi untuk memperjelas.

"Kenapa Pak?"

Ia menjawab, "Otista kan deket, pake minimum payment aja gimana?"

"Oh, nggak deh. Saya maunya pakai argo." Saya jawab begitu.

"Beneran nih pakai argo aja?" Ia menyalakan argo taksinya.

Lalu saya menegaskan, "Iya. Pakai argo." 

Jalanan sore itu agak ramai cenderung macet. Rute menuju rumah saya ke Otista, melewati terminal Kampung Melayu yang menjadi tempat bermuaranya segala jenis angkutan umum.

Supir taksi saya itu mengambil jalur kanan, dimana cukup ramai bus Transjakarta yang akan menuju terminal. Sedangkan jalur kiri tidak terlalu rusuh karena tidak bentrok dengan bus-bus yang akan 'pulang' ke terminal. Saya tidak tahu maksudnya apa dia ambil jalur kanan. 

Karena lewat jalur kanan itu pula, taksi saya terhenti cukup lama menunggu bus Transjakarta yang akan berbelok ke arah terminal.

Saat itu saya mulai tidak nyaman dengan situasi di dalam taksi, dimana si supir melihat saya dengan tatapan aneh lewat kaca spion tengah. Tetapi saya abaikan dan saya pura-pura sibuk membereskan berkas soal-soal murid saya. Musik dangdut house itu juga masih terdengar, bahkan agak lebih kencang dari sebelumnya. Sungguh tidak nyaman, terlebih lirik lagunya yang menggunakan kata-kata tidak sopan.

Saya mulai takut, tetapi berusaha tenang.

Setelah melewati terminal, sang supir mengeluarkan minyak rambut dari saku celananya. Ia memakai minyak rambut lalu menyisir rambutnya di tengah kemacetan sambil bercermin pada kaca spion tengah. Aroma minyak rambutnya membuat kepala saya pusing, karena menusuk hidung. Baru pertama kali saya mencium aroma seperti itu.

Saya tetap duduk dengan tenang walaupun khawatir.

Kemudian, si supir yang sedang menyisir rambut itu melihat saya melalui spion dan melontarkan pertanyaan, "Kerja dimana lo?"

Saya kaget. Apa pantas dia memanggil saya dengan sapaan lo-gue?

Saya berusaha menegaskan pertanyaan dia dengan bertanya kembali.

"Apa?!"

"Pulang kerja atau masih sekolah?" Tanyanya.

"Kerja." Jawab saya berbohong.

"Wah, asli Medan? Medannya mana?" Supir itu merespon dengan pertanyaan yang tidak ada kaitannya sama sekali.

"Bukan. Saya bukan orang Medan." Jawab saya yang masih meladeni pertanyaannya walau sebenarnya malas.

"Terus, orang mana dong?" Tanyanya lagi.

Saya tidak menjawab.

Saya semakin yakin untuk keluar dari taksi itu segera. Saya memikir segala cara yang akan saya lakukan jika supir itu berulah.

Masih di tengah kemacetan, dan saya memutuskan untuk keluar dari taksi itu. 

"Pak, berhenti di depan sana ya! Barang saya ada yang tertinggal. Harus balik lagi."

Supir itu tidak merespon. Tapi untungnya ia meminggirkan taksinya ke kiri dan membiarkan saya turun. Saya keluar taksi dan mencari angkot menuju rumah.

Untunglah saya masih bisa keluar dan tidak dibawa kabur. :")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Any comments?