Hari ini ada satu kasus yang terjadi di rumah makan cepat saji ala Jepang yang (katanya) merakyat itu. Ceritanya saya baru saja pulang dari urusan kampus, dan kebetulan sedang tidak berpuasa, sehingga makan siang dulu bersama dua teman saya yang juga tidak puasa di resto yang berada di dalam salah satu mal, di bilangan rawamangun. Hari ini saya bawa tas dan map plastik warna hijau yang isinya berkas kuliah dan flashdisk. Tidak biasanya memang saya menaruh flashdisk di dalam map. Flashdisk ada di dalam map karena saya pada waktu itu baru saja selesai print beberapa berkas perkuliahan di warnet.
Singkat cerita, sampailah saya dan dua teman saya di resto tersebut. Kami bertiga memilih tempat duduk yang terdiri dari empat kursi. Satu kursi kosong saya gunakan untuk menaruh tas serta map hijau saya itu. Setelah makan, pukul 13.30 WIB saya dan teman saya memutuskan untuk pulang. Kebetulan kami semua, sama sama naik bus Transjakarta, tetapi berbeda arah (koridor). Saya yang saat itu transit di halte Matraman, tiba-tiba sadar, saya hanya membawa tas tanpa ada map saya di tangan. Sempat saat itu saya panik sebentar, karena mengingat isi map itu penting. Hal pertama yang saya lakukan adalah menelepon teman saya yang tadi bersama saya-berharap mereka tahu keberadaan terakhir map saya. Mereka semua tidak mengangkat telepon saya, karena mungkin masih berada dalam perjalanan. Lalu saya telepon Mama saya yang ada dirumah, meminta bantuan untuk menelepon 108 (bagian informasi umum) dan menanyakan nomer telepon resto cepat saji ala Jepang itu. Saat itu juga saya berbalik arah, menuju resto itu lagi. Ada waktu sekitar 30 menit untuk mencapai sana. Mama sms bahwa, 108 hanya memberikan call center brand restorannya saja, bukan nomer telepon outletnya. Ya sudah, pikir saya. Toh saya pun sudah sampai di tempat.
Saya mempercepat langkah saya ke gerai resto itu. Saya langsung menuju meja tempat saya makan 45 menit yang lalu. Meja itu kosong, tanpa pelanggan. Lalu datanglah seorang petugas berbaju hitam dengan tanda pengenal di dada kanannya, hendak membersihkan meja itu. Lalu saya langsung bertanya padanya "Maaf mas, liat map hijau disini nggak? Tadi saya makan disini, terus ketinggalan."
"Nggak ada mbak, ini liat sendiri kan nggak ada. Kalo ada juga udah kita simpan." (cetak tebal: konotasi yang mengisyaratkan mutlak tidak ada map saya disana.) Jawab petugas itu. Saya masih diam dengan wajah panik, mondar mandir di beberapa sudut ruangan, berharap ada map saya tercecer di lantai. Kemudian, petugas tadi bertanya pada salah satu waiter yang lewat. Intinya, dia menanyakan map saya. Jawabannya pun nihil. Saya yang saat itu panik, dan setelah tahu pertanyaan saya dijawab seperti itu, saya keluar dari sana. Saya berpikir dalam hati, mengingat ingat alur lalu lalang saya sekitar 45 menit yang lalu. Saya sempat mampir ke supermarket kala itu, tapi saya ingat kembali, setelah itu saya masih berkipas-kipas memakai map saya. Saya yakin benar bahwa map saya tertinggal di gerai restoran itu, tapi soal tidak adanya map itu, saya pikir map saya sudah dibawa orang atau dibuang. Walaupun sebenarnya juga kecil kemungkinannya ada pengunjung resto yang mengidap kleptomania.
Kebetulan beberapa menit sebelum saya masuk mal, om saya sms. Om saya ternyata juga sedang ada di sekitaran rawamangun, dan menawarkan untuk pulang bareng. Lalu tak lama, om saya datang, tepat saat saya keluar dari mencari-cari dengan hasil nihil.
Saya menceritakan singkat kasus saya itu kepada om saya. Om menyuruh dan mengajak saya untuk kembali ke tempat makan itu. Akhirnya, saya pun datang lagi untuk kedua kalinya. Kali ini saya dan om, meminta waiter untuk mempertemukan kami dengan sang manager. Tak perlu waktu lama untuk menceritakan yang terjadi, manager itu sudah bergegas masuk ke ruang staff seraya mempersilahkan kami untuk duduk sejenak.
Kurang dari satu menit, datanglah petugas berbaju hitam yang bertemu dengan saya di awal, sambil membawa map hijau saya. Dengan wajah santai dan gaya jalan yang biasa-biasa saja. Saat itu juga emosi saya memuncak. "Tadi saya dateng kesini mas bisa bilang map saya nggak ada?! hah. Ini apa mas? Ada kan?! Gampang banget bilang nggak ada." Saya benar benar marah saat itu. Saya merasa telah dipermainkan dengan perlakuannya tadi. Lalu petugas (yang ternyata security) itu menjawab dengan nada bicara agak sinis. "Lho, sekarang barangnya udah ketemu mbak malah marah-marah, yang penting udah ketemu kan mbak?". Sungguh tak habis pikir, ada ya perlakuan terhadap costumer seperti itu. Terkesan menantang sikap saya yang sedang marah. Dia selalu membantah setiap kali saya mengeluarkan argumen saya. "Bukan masalah udah ketemu mas! Tadi mas bilang barang saya nggak ada. Gampang banget ya bilang gitu. Cari dulu kek ke ruang staff siapa tau ada staff lain yang nemuin. Mas tuh tadi cuma tanya ke satu waiter di depan! Tanpa mempersilahkan saya duduk atau apa. Gampang banget ya.. ?!"
"Yaudah sekarang map nya udah ketemu mbak". Jujur saya benar-benar marah saat itu. Belum pernah rasanya saya marah di tempat umum dengan nada murka yang seperti tadi. Saat itu juga saya rebut map saya yang ada di tangan security tersebut. "Okey, iya ini emang udah ketemu!. Terus tadi maksud anda apa bilang nggak ada? Makanya cari dulu!"
"Iya, makanya kan tadi waktu mbak kesini saya bilang saya cari dulu". Tukas petugas security tersebut. Saya pun tambah marah mendengar jawaban yang nonsense seperti itu. "Hoo.. nyari?! Terus kalo udah nyari dan ketemu darimana saya tau kalau map saya ketemu, sedangkan mas nggak nanya contact person saya atau apa. Bahkan saya dibiarkan mondar-mandir tanpa disuruh duduk atau apa."
Sang manager saat itu hanya duduk di salah satu kursi pelanggan, sambil melihat ke arah saya, dan bertanya dari jauh. "Gimana mbak udah ketemu mapnya". Entah apa yang ada di pikiran manager itu, seharusnya jika kedua matanya masih berfungsi dengan baik, saya rasa dia bisa melihat dengan jelas saya sedang marah-marah. Tak sabar melihat hal ini, saya menghampiri manager itu. Menjelaskan tentang ketidakpuasan saya dengan cara kerja staffnya. Sementara itu, si security sedang diajak bicara dengan om saya. Saya tahu om saya juga marah dengan ketidakprofessionalan mereka dalam menghadapi konsumen, tetapi om saya masih tampak tenang.
Saya perhatikan kata demi kata yang sedang diceritakan oleh si security itu. Dia mangatakan pada om saya jika saya sudah mulai emosi sejak saya datang pertama ke sana untuk mencari map. Hahaha.. Lelucon apa itu. Jelas jelas saya masih sabar pada saat itu. Malahan saya dibuat bingung dan panik oleh perlakuannya yang mengatakan map saya tidak ada. Jujur saya ragu, bagaimana bisa dia dapat direkrut menjadi staff di restoran yang cukup ternama itu. Di depan saya dia bisa memutarbalikkan keadaan. Mungkin dikira karena saya ini lebih muda dari dia? Hah!
Saya langsung potong pembicaraannya dengan om saya saat itu. "Heh! anda bilang saya emosi?! Saya itu pertama kesini nggak emosi ya! Asal anda tahu aja. Saya emosi karena anda bilang map saya nggak ada dan ternyata ada!!" Meja makan di sana beberapa kali kena pukul oleh saya.
Lalu si security berusaha membela dirinya. "Mbak, mbak pernah tau nggak kerja jadi saya?! Saya disini nggak cuma ngurus barang ilang aja". Lagu lama. Lucu sekali memang kalimat-kalimat yang ia keluarkan. Tidak ada relevansinya sama sekali. Saya pun membalas. "Haha.. Lho anda malah nanya saya pernah nggak jadi anda? Lha saya memang bukan anda!! Kok lucu." Dia sangat terkesan tidak mau disalahkan dan tidak mau mengakui kesalahannya. Saya tahu dia malas untuk mencari barang saya. Saat itu bisa dibilang waiters jauh lebih sibuk mondar-mandir daripada dia yang hanya berdiri di ujung pintu keluar. Saya rasa kalimat 'Saya disini nggak cuma ngurus barang ilang aja' lebih pantas diucapkan dari mulut seorang pelayan.
Dalam perdebatan itu, saya heran sungguh, manager cenderung diam tanpa berusaha sedikit pun menengahi saya dan orang itu. Apa itu sikap pemimpin yang baik? Entahlah. Lalu dengan wajah yang sedikit sinis, security itu berkilah lagi, (lagi-lagi tidak memiliki korelasi kasus). "Mbak tau nggak siapa yang udah nemuin map mbak?" Entah mengapa pertanyaan itu seperti pertanyaan anak TK bagi saya. "Hei mas, kalo saya tau saya juga nggak akan nyari map saya!"
Acara marah-marah saya berakhir ketika si manager itu 'berdiplomasi' dengan om saya. Cukup haran juga dengan om saya yang masih bisa bicara dengan mereka. Satu hal yang perlu diketahui, security itu tidak mengeluarkan kata kata 'maaf' sedikit pun pada saya. Malah managernya yang meminta maaf pada saya dan om atas ketidakprofessionalan kerja staffnya.
Mungkin Anda para pembaca menilai saya emosi berlebihan di tulisan ini. Atau barangkali ada di antara Anda yang berpikir bahwa, "yaelah Cin, masalah sepele gitu dibuat rumit" dan lain sebagainya. Ada beberapa poin di sini yang saya sayangkan dari pihak restoran dalam kasus ini.
Pertama, komitmen kerja yang kurang. Saat ini lebih banyak kita lihat orang akan yang lebih total bekerja ketika materi yang akan ia dapatkan sebagai imbalan itu besar. Orientasi materi atau uang/gaji/sallary/honor mempengaruhi sikap mereka dalam menghargai suatu profesi. Saya memang belum memiliki pekerjaan tetap. Tetapi saya pernah merasakan mendapatkan suatu project, dan saya maksimal pada saat melakukannya. Orang lain akan lebih menghargai kita ketika kita bekerja maksimal walaupun materi yang didapat kecil.
Kedua, kurangnya nilai kesopanan dari si security dalam hal berbicara dengan pengunjung sebagai pelanggan restoran tersebut. Ingat pepatah, pembeli adalah raja. Dimana-mana pelanggan harus diperlakukan dengan baik setidaknya. Hal ini mungkin terkesan egois dari sudut pandang saya sebagai orang yang mengalami. Tetapi Anda boleh cari gerai rumah makan, kios, warung atau apapun itu, pedagang yang baik adalah pedagang yang menghargai pembelinya.
Ketiga, jiwa kepemimpinan manager sebagai pemimpin yang tidak dapat menentukan sikap pada saat itu. Walaupun mungkin sejak kejadian tersebut security itu mendapat SP (Surat Peringatan) dari atasannya. Saya sungguh menyayangkan kejadian tersebut harus terjadi sampai berlarut-larut, tanpa ada sikap dari manager yang memberi penjelasan secara sigap, singkat dan tepat. Dia seperti nyaman sekali melihat saya marah-marah dengan security itu. Kurang tanggap.
Terakhir, sistem kerja restoran. Ketika sebuah restoran yang katanya ternama itu mempunyai sistem kerja yang jelas, maka menurut saya dalam hal ini, SOP (Standard Operating Procedure) di outlet restoran tersebut harus direvisi. Sepertinya staff di sana kurang dilatih (training kerja) untuk menghadapi kasus-kasus yang tidak terduga dari pihak costumer. Saya pikir, ketika seorang costumer mengeluhkan kehilangan barang, maka pihak staff atau apapun itu jabatannya, wajib hukumnya untuk menanyakan barang apa yang hilang, siapa nama pemilik barang, dan contact person pemilik barang. Agar sewaktu-waktu ketika barang tersebut ditemukan (kemungkinan) di kemudian hari, sang pemilik akan lebih mudah dihubungi.
Saya kira cukup sharing pengalaman saya hari ini. Semoga Anda tidak mengalami hal seperti saya, dan dapat memetik pelajaran dari tulisan saya.
Selamat malam,
salam sejahtera bagi kita semua
Cintra
hahaha gue jadi ikutan emosi ciin bacanya.. sabar yaa ciinnttraa
BalasHapus