Hai teman-teman, pada kesempatan ini aku tertarik untuk mengikuti suatu lomba menulis blog yang mengusung tema HAM (Hak Asasi Manusia). Yah, pertama kali dengar ada Indonesian Human Rights Blog Award ini, aku langsung semangat mengikutinya. Kenapa? Karena aku cukup sering sekali melihat praktik-praktik diskriminasi HAM di sekelilingku. Miris sebenarnya melihat keadaan tersebut. Ketika negara kita mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika, tetapi masih ada saja diskriminasi sosial seperti itu.
![]() |
| sumber gambar : ngapaknews.com |
Setelah bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi kandidat ketua kelasnya, kami sepakat untuk menjadikan semua laki-laki di kelas kami untuk menjadi kandidat ketua kelas. Waktu itu majulah empat orang kandidatnya (satu mahasiswa laki-laki merupakan mantan ketua kelas yang lama, sehingga tidak dapat dan tidak mau dipilih kembali). Oh, iya selain ada ketua kelas, di kelasku juga ada ketua angkatan, kebetulan yang satu kelas denganku adalah ketua angkatan untuk mahasiswa perempuan. Entah kenapa sewaktu ospek, ketua angkatan dibuat dua versi, untuk laki-laki dan perempuan.
Pemilihan hampir dimulai. Kandidat berdiri di depan kelas untuk setidaknya mengenalkan dirinya pada teman-teman, seperti formalitas. Satu di antara empat kandidat tersebut merupakan kaum minoritas di kelasku. Setelah pemilihan selesai, si minoritas ini mendapatkan suara terbanyak kedua di kelas. Namun, tak lama setelah itu, aku terkejut mendengar perkataan temanku yang mengatakan bahwa ia mendapatkan sms (short message service) dari ketua angkatan bahwa sang ketua tidak menginginkan ketua kelas yang berasal dari kaum minoritas.
Aku terkejut saat itu. Jujur baru saat ini aku melihat sebuah praktik seperti ini. Karena pada saat itu aku tidak menerima sms berantai itu, aku mencari tahu ke teman lain, dan ternyata cukup banyak yang mendapat sms itu. Memang hanya beberapa orang saja yang tidak dikirimi sms itu, yaitu orang-orang yang lumayan ‘vokal’ di kelas. Tidak dapat dipungkiri, aku yakin, sedikit banyak sms itu mempengaruhi pemikiran teman-temanku pada saat memilih.
Aku sangat bingung saat itu. Aku sangat ingin membela hak mereka yang minoritas tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Di sisi lain aku tidak mau membuat hubungan antar warga kelas menjadi ‘dingin’ atau kaku, tapi di sisi lain juga aku harus mengungkapkan sebuah ketidakadilan.
Akhirnya, dengan rasa menyesal dan bersalah, aku biarkan peristiwa itu berlalu. Ada juga beberapa temanku minoritas lain yang tahu soal itu. Mereka kaget dan sangat merasa sedih dan tersisih dengan adanya sms tersebut. Lalu aku berusaha membangun kepercayaan dirinya. Di dalam kebingungan bertindak aku menyarankan temanku untuk speak up atau berbicara langsung. Aku mengatakan pada temanku yang minoritas untuk bangkit dan menyuarakan pendapatnya sesuai isi hatinya. Namun, apa jawabnya? Ia menjawab bahwa, dengan adanya penyisihan minoritas tersebut ia tidak berani terlalu ‘vokal’ menyuarakan aspirasinya di kampus, karena toh pasti tidak akan didengar juga.
Aku berpikir kembali di rumah. Apa yang bisa aku perbuat dengan peristiwa yang baru saja terjadi di kelas. Aku miris melihat keadaan itu. Sebuah diskriminasi SARA yang notabene telah melanggar HAM, menimbulkan masalah lagi yang erat pula hubungannya dengan HAM, yaitu pembatasan penyaluran aspirasi secara tidak langsung.
Oh ya, bagi kalian yang belum mengerti apa itu diskriminasi dan seperti apa diskriminasi itu, baik, akan aku sisipkan bunyi UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 3 di dalam tulisan ini.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:
"Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lainnya."
Kembali ke topik. Dalam masa penyesalanku karena tak dapat berbuat apa-apa itu, aku berpikir untuk mencari cara agar teman-temanku sadar bahwa diskriminasi itu terlarang hukumnya. Akhirnya aku mulai untuk menyebarkan status maupun link situs yang berisi artikel-artikel tentang toleransi, di jejaring sosial. Tidak luput juga tentang undang-undang HAM tadi. Namun, miris, beberapa hari yang lalu di sebuah fitur group dari salah satu jejaring sosial yang berisi tentang kegiatan kelas, temanku menuliskan sebuah anekdot yang condong ke agama tertentu.
Saat itu juga tanganku tak kuasa menahan untuk tidak mengomentarinya. Aku ungkapkan di sana, bahwa semua yang ada di group tersebut adalah heterogen. Ya, kami heterogen, kita heterogen, negara ini terdiri dari keberagaman. Aku menegaskan kembali di kotak komentarku itu, bahwa dalam kondisi apapun baik ada yang tersinggung atau tidak, segala posting yang ada di group itu tidak seharusnya memasukkan unsur SARA. Lalu keesokan harinya posting tersebut telah hilang, entah siapa yang menghapusnya. Terhapus tanpa ada komentar apapun lagi. Semoga saja seiring dengan terhapusnya anekdot tersebut, temanku sadar dengan apa yang ia perbuat, dan juga lebih mengontrol tulisannya kelak. Terkadang seseorang tidak sadar jikalau dirinya melakukan sebuah diskriminasi terhadap orang lain, karena terbiasa terlingkup, dan menjadi kaum mayoritas.
Seperti yang pernah aku utarakan di artikel sebelumnya, kalau pun kita pernah melihat sang minoritas bersikap 'biasa saja' dengan hal-hal yang sifatnya mendiskriminasi SARA (sekecil apapun), itu bukan berarti mereka tidak merasa tersisih. Tapi rasa tersisih yang telah menumpuk itu yang menjadikan mereka 'kebal' akan tekanan.
Hal itu telah aku tanyakan sendiri pada temanku yang minoritas. Katanya, dulu sewaktu SMP, ia pernah merasa tersinggung dengan omongan-omongan miring maupun kata-kata yang menyinggungnya dalam segi SARA. Namun lama kelamaan rasa tersisih dan sensitif itu pudar, seiring makin banyaknya hal-hal seperti diskriminasi itu yang ia temui di kehidupan sehari-harinya.
Dari kisahku ini, apa belum cukupkah bukti bahwa rasa saling menghargai dan menghormati terhadap Hak Asasi Manusia di negeri ini masih belum terrealisasikan dengan baik?
Mungkin kisahku ini terdengar sangat sederhana dan bagi sebagian orang menilainya sebagai cerita kuno, dan masalah sepele, tetapi aku 'melihat' sendiri bahwa sebuah diskriminasi dapat memenjarakan sebuah aspirasi. Padahal kita hidup di negara yang demokratis, yang mempunyai prinsip demokrasi, antara lain, kebebasan berpendapat dan kebebasan memeluk agama.
Mengapa mereka tidak dapat menyadari dan menghargai kebergaman? Entahlah. Sudah terlalu banyak stigma yang melekat pada pikiran masyarakat kita.
Ketahuilah teman-teman, bahwa keberagaman itu indah. Seperti halnya sekotak krayon yang berisi bermacam warna, kemudian dari warna-warna tersebut terciptalah suatu lukisan yang indah. Tak terbayangkan jika di dunia ini hanya ada satu jenis warna saja.
![]() |
"Menyadari keberagaman sudah menjadi suatu alasan yang mutlak untuk kita menghargai dan menghormati sebuah keberagaman"





Good luck, Chintraaa.....!!! :D
BalasHapusTrima Kasih kakak Ega!!! :D
BalasHapusgreat posting....
BalasHapus"every Indonesia people have the same human rights"
that the right philosophy, great for you to always keep human rights for everyone..
@bachaddiah:
BalasHapusthanks mba bela udah mampir..
iya mbak sebagian orang perlu sadar akan hal hal seperti ini,hehehe.. :)