Sore itu, duduklah lelaki tua berusia 74 tahun dan keponakan perempuannya yang berusia paruh baya. Sang keponakan memulai pembicaraan dengan mengutarakan apa yang mengganjal hatinya selama ini.
Di teras rumah, ia pun berbicara. "Paman, kadang aku masih merasa menyesal karena tidak maksimal dalam merawat ayahku semasa ia hidup. Bahkan di akhir hayatnya, aku tak bisa berbuat banyak dan malah tetap sibuk merawat putra-putriku."
Perempuan itu menatap teras yang kala itu basah sehabis hujan. Tatapannya setengah kosong. Mungkin memorinya tengah berlari ke masa lalu.
Pamannya yang tidak terlalu dapat melihat jelas itu diam sejenak, lalu mengambil cangkir kopinya. Ia menyeruput kopi hitam klasik itu perlahan. Kemudian, pandangannya lurus ke depan seakan memperhatikan langkah kaki orang yang lalu-lalang di depan rumah.
"Kalau dipikir, dan diingat-ingat kembali, aku pun punya penyesalan semacam itu. Juga kepada ayahku." Katanya, sambil mengubah posisi tangannya menjadi saling menggamit di atas pangkuannya. Kedua sikunya diletakkan pada tangan kursi.
Ia pun membuka kembali memorinya ke 67 tahun yang lalu. Saat ia berumur enam tahun dan harus ditinggal ayahnya untuk selama-lamanya.
***
Di sore yang damai itu, Bhaskara dan Kumara diajak bapaknya untuk mandi di sungai, di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Keduanya sangat senang, karena jarang sekali mereka dapat bermain bersama bapaknya yang sering berdinas ke luar kota. Kala itu bapaknya yang seorang kepala sekolah juga bekerja sebagai karyawan Keraton Yogyakarta.
Bhaskara, sang kakak kedua, membantu adiknya, Kumara, membuka baju. Kedua anak laki-laki itu tentunya sangat ceria pada hari itu. Bapaknya yang sibuk, akhirnya dapat meluangkan waktu untuk mereka.
Adapun sang kakak tertua, Harsha, juga kedua adik kecil perempuan mereka berada di rumah bersama sang Ibu.
Sore itu masih agak terik, matahari sudah agak tergelincir namun masih terasa hangat.
"Bhaskara, sini nak, biar bapak sabuni badanmu yang bau itu!" Bapaknya mencoba bercanda kepada Bhaskara.
"Aku juga pak! Badanku kan juga bau seperti Mas Bhaskara, masa aku tidak disabuni juga sih?!" Protes sang adik, Kumara, yang seketika menghampiri bapaknya.
"Iya, sabar ya Kumara. Nanti setelah bapak sabuni Bhaskara, kamu akan bapak mandikan." Ujar bapak, dengan halus dan sabar.
Tak terasa, matahari sudah ingin segera bersembunyi. Senja oranye itu sebentar lagi menampakkan diri. Angin pun terasa sepoi-sepoi meniup daun di setiap dahan pohon. Air sungai Gunung Kidul itu juga mulai terasa dingin menyegarkan.
"Kalian semua sudah bersih, kan?" Tanya bapak kepada Bhaskara dan Kumara.
"Sudah pak!" Jawab mereka bersamaan.
"Pak, tapi aku masih ingin bermain air. Boleh tidak?" Tanya Bhaskara, sang kakak.
"Baiklah. Bermainlah, tetapi jangan terlalu lama." Tandas bapak, seraya mengikuti Bhaskara ke tengah sungai.
Sedangkan sang adik, yang lebih muda dua tahun dari Bhaskara, bermain di tepi sungai.
Selang beberapa menit..
"Bhas! Bhaskara..! Ke sini Bhas..!" Suara Bapak memanggil Bhaskara, tetapi tak tahu dari mana.
Bhaskara kaget. Rupanya Bapaknya terseret arus sungai dan hampir tenggelam. Bapaknya yang bisa berenang itu, tetap saja berteriak dan melambaikan tangan meminta tolong.
Kumara menangis di pinggir sungai.
Bhaskara panik dan kebingungan. "Sebentar pak. Aku minta pertolongan warga! Bapak bertahan Pak!.."
"Tolooong.. tolong! Siapapun tolong Bapakku!" Bhaskara berlari ke darat, dan mencari warga yang ada di sana.
Warga telah datang.
Tetapi Bapak tenggelam.
Jasad Bapak masih dalam pencarian. Bhaskara dan Kumara menangis sejadi-jadinya.
Sore itu juga, polisi mendatangi rumah menemui Ibu. Namun, Bhaskara dan Kumara masih di tempat kejadian untuk menunggu jasad Bapak ditemukan.
Ibu tidak percaya mendengar berita kematian Bapak. Sampai pada akhirnya Ibu datang ke tempat kejadian dan melihat kenyataan bahwa suaminya, telah tiada. Kelima anaknya menjadi yatim. Ibu menjerit, menangis melihat kenyataan yang belum siap ia hadapi ini. Ia harus menjadi janda dan merawat kelima anak-anaknya sendirian.
Malam itu, ketika jasad bapak telah ditemukan, kereta jenazah dari Keraton Yogyakarta, tempat Bapak bekerja, datang ke rumah. Jenazah Bapak dibawa ke Klaten, untuk dimakamkan.
***
Begitulah Bhaskara memutar ingatannya. Ya lelaki tua itu adalah Bhaskara.
"Kalau dipikir, bukan kamu saja yang menyesal akan kematian ayahmu tempo hari itu. Bahkan aku, saat ini, di usiaku yang ke-74 pun masih menyesal. Masih menyesal karena kala itu, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Bapakku saat akan tenggelam. Yah, begitulah.. " Kenang lelaki tua itu kepada keponakan perempuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Any comments?