Rabu, Agustus 29, 2012

Antek-Antek Recehan

Ini cerita yang agak telat di-update. Baru sempat saya ceritakan sekarang karena sesuatu dan lain hal.
image source: aris-unik-menarik.blogspot.com

Kamis (16/08/12), saya mendapatkan 'tugas' dari keluarga untuk menukarkan uang bernominal besar menjadi recehan di gerai penukaran uang receh yang diadakan Bank Indonesia (BI). Sebenarnya saya tidak tahu menahu sistematika penukaran uang itu seperti apa. Dalam artian, apakah dapat menukar di kantor cabang pembantu bank konvensional atau bagaimana. Saya juga tidak tahu apa yang ada di pikiran anggota keluarga saya untuk mengutus saya ke Monas, menukarkan uang bernominal besar. Setahu saya, dulu keluarga saya lebih memilih menitip (menukar uang) kepada saudara yang bekerja di bank. Entah ada apa dengan tahun ini. Barangkali anggota keluarga saya penasaran dengan pemberitaan di televisi.

Hari itu, pukul 9.30 WIB saya sampai di Lapangan IRTI, Monas. Antrean sudah penuh, tetapi cukup tertib. Sistem antrean tidak menggunakan nomor, melainkan langsung duduk berurutan mengantre. Pihak penyelenggara telah menyediakan tenda dan kursi lipat sebanyak kurang lebih 10 baris x 10 baris di setiap gerai bank. Dengan adanya tenda, para pengantre tidak akan terlalu merasa kepanasan. Ada lebih dari lima bank di sana. Bank-bank tersebut bergaya dinamis alias bank di dalam mobil van. Tak jarang pula dari tiap bank tersebut, memiliki mesin ATM yang menyatu dalam mobilnya. 

Saya memilih untuk mengantre di gerai Bank Rakyat Indonesia. Dengan menempati diri saya di kursi terakhir, lama kelamaan posisi duduk saya bergeser ke samping, lalu ke depan. Sistem antrian mengular. Suasana di sana cukup ramai, mengingat hari itu adalah hari terakhir penukaran uang. Antrean saya semakin maju. Cukup progresif. Seiring saya menempati kursi yang baru, antrean di belakang juga selalu berganti dengan orang-orang yang baru datang. Tampak segerombol keluarga  (mungkin: anak, ibu, nenek, budhe, dll) dengan logat kental daerah tertentu.

Saat itu pikiran saya fokus dengan tugas saya untuk menukar uang receh. Lagi pula uang yang saya bawa jumlahnya lumayan jika (amit-amit) sampai hilang. Suasana hati yang kala itu dihantui kebosanan menunggu giliran maju pun membuat saya memilih untuk mengutak-ngutik ponsel saya, dan sesekali mengirim sms kepada teman.

Setelah sms terkirim, sesekali pandangan saya berlayar ke segala penjuru, bermaksud memantau situasi jika ada sesuatu yang janggal. Kemudian saya mulai sadar, sistem antrean ini rupanya tidak beres. Ada sebagian orang yang menitip uangnya ke orang yang antre di depan, agar uangnya dapat lebih dulu ditukarkan. Bahasa sederhananya sih "malas antre". Kegiatan menitipkan uang ke antrean depan itu berlangsung cuma-cuma, alias gratis. Hanya bermodalkan belas kasihan saja, lalu sang penolong tergugah hatinya dan terpengaruh oleh lobi-lobi beracun itu. 

Menit-menit berlalu, saya semakin paham bahwa cukup banyak modus 'menitip antrean' ini terjadi. Saya mulai berpikir, apa mungkin hampir sebagian orang di sini malas mengantre atau memang uang mereka melebihi limit yang ditentukan BI untuk ditukarkan. Rupa-rupanya, hari itu bertaburan orang-orang yang berprofesi sebagai "tukang tukar uang plus ongkos" alias makelar uang receh. Yaah.. you know lah maksud saya.

Mereka membawa uang yang cukup banyak sehingga memang tidak bisa ditukarkan sendiri, karena limit dari BI adalah 5jt per orang yang menukarkan. Dugaan awal saya tidak 100% benar. Selain malas antre mereka pun memiliki keterbatasan dalam jumlah menukar uang.

Di dalam penantian antrean yang membosankan itu, tiba-tiba seseorang berbicara dengan nada halus di dekat telinga saya. "Mbak, aku mau minta tolong, titip uangku ini, cuma 200rb kok, mau ya?". Kaget. Agak panik sedikit. Saya bingung harus jawab apa saat itu. Seketika seperti ditodong perampok. Tapi saya tidak akan membantu ibu itu. Saya tidak mau menjadi antek-antek recehan, atau antek-antek "tukang tukar uang plus ongkos" itu. Saat itu saya berpura-pura menjadi orang bodoh, berakting bingung dan memutar-mutarkan pembicaraan. Ujung-ujungnya saya bilang saya tidak bisa membantunya secara tersirat. Ibu itu memasang senyuman yang sangat sangat ramah.  Seorang pria di sebelah saya berbicara pada saya sesaat setelah ibu itu mengurungkan niatnya. "Mbak, jangan mau kalo diminta tuker gitu. Keenakan banget dia. Kita capek antri dia main nitip aja". Kemudian istrinya ikut bertanya, "Ada apa sih? Kenapa?". Pria itu menjawab, "Ini loh, tadi mbak ini dimintain nitip sama tuh ibu..". "Idiiih.. enak aja. Bilang, 'wani piro bu?' gitu!" Istrinya kesal.

Antrean saya maju perlahan. Bergeser ke kanan, lalu sampai ke ujung, maju ke depan sebaris dan bergeser kambali ke kiri, begitu seterusnya. Sampailah saya di tengah-tengah barisan kursi. Lalu tiba-tiba, telinga saya diganggu oleh bisikkan seseorang, "Boleh ya.. gimana? Mau ya?".. Sepintas terdengar seperti desahan hantu di film-film horor. Ternyata ibu itu tetap ikut mengantre di antrean belakang saya. Saya terkejut dengan desahan 'maut' itu, setengah gugup, tetapi masih berusaha memasang wajah tenang. "Oh, maaf bu saya nggak bisa bantu.." jawab saya. Ibu itu kembali duduk di kursinya, mengobrol dengan orang di sebelahnya dengan menggunakan bahasa daerahnya.

Saat itu di sebelahnya juga, ada seorang wanita muda yang ingin menukarkan uangnya, namun ia bukan seorang makelar uang receh. Sempat saya mendengar percakapan mereka yang berprofesi "tukang tukar uang plus ongkos" (A) itu dengan sang penukar uang "normal"(B).
B : Wah bu, enak juga ya kerja begini.. Untungnya banyak ya bu?
A : Hahaha, yaa lumayanlah mbak, buat membeli "segenggam berlian" 
B : Waduh si ibu, keren banget nih. Udah bukan "sesuap nasi" lagi ya bu, targetnya? Haha
A : Yaa, sesuap nasi sih masih. Cuma kan kalo bisa segenggam berlian lebih bagus Haha. Tahun depan berliannya digadai, terus tiga bulan kemudian ditebus. Ya, kalo nggak gitu nggak hidup kita.
B : Enak banget dong bu, saya juga mau ah besok jadi kaya ibu. Haha.. Itu kalo nukerin sama ibu, lembarannya (uang) dikurangin gitu bu? Misal, kan harusnya seratus lembar, nanti kita nerima cuma 99 lembar...
A : Oooh nggak begitu.. Kasian lah, kami nggak mau ngurangi yang ada di dalam seratus lembar itu. Kalo nukar sih, paling nanti kami minta uang tambahannya lagi, beda sama yang di dalam gepokan itu. Kan suka ada orang yang mau nomor serinya urut. Misal tukar 100rb, nanti dia nambah 10rb.
B : Oh gitu tooh, saya baru tau nih bu abis dibilangin ibu. Lumayan juga ya bu untungnya.
A : Ya, begitulah. Ya demi segenggam berlian tadi. Hahaha.. Ini juga perjuangan, datang pagi-pagi bawa lima anak, saya suruh antri semua.
B : Wah ini anaknya bu? Banyak juga nih anaknya. Nggak berniat nambah anak lagi bu, buat bantuin tahun depan lagi? Haha..
A : Nggaklah lima udah cukup.. Haha. Mbak kan mau nuker juga nih, mau buat berbagi di hari lebaran kan?? Mending nukerin sama saya aja. Kan sama juga berbagi sama saya. Nih saya ada banyak.. (menunjukkan pecahan 1000, 2000, dst)
B : Waduuh si ibunya udah dapet banyak aja tuh uang receh. Haha. Kalo kita mau nuker sama ibu, ngapain juga bu kita antri di sini cape-cape. Lagian ada jasa nuker gratis di depan mata, masa saya milih yang pake ongkos sih.. Haha.. Udah di monas nih bu! Haha 
[Demikian percakapan tersebut masuk tidak sengaja ke dalam telinga saya] 

Singkat cerita saya sudah sampai di barisan depan. Saat itu pukul 11.45 WIB. Seorang satpam menghampiri barisan antrean, dan memberi tahu bahwa barisan yang masih mempunyai kemungkinan untuk mendapat giliran adalah barisan satu, dua, dan tiga. Satpam itu juga mengatakan kalau transaksi hanya sampai pukul 13.00 WIB. Lebih dari pukul 1 siang, maka antrean dibubarkan.

Belum selesai satpam itu menginformasikan berita tersebut, ibu-ibu makelar dan teman-temannya itu berteriak, mereka protes. Mereka menyuruh kami-para pengantre "normal" untuk mempercepat langkah kami sampai di bank bergerak itu. "Cepetan dong! Nanti kita nggak kebagian giliran nih. Kita udah nahan-nahan lapar, nggak makan. Kalau kalian kan emang puasa, kalau kami memang nggak puasa, jadinya lapar."

*)FYI : 1. Profesi seperti itu tidak sedikit berada di dalam satu antrean, 2. Tidak selalu ibu-ibu, melainkan mereka juga membawa saudara atau anak mereka, 3. Tampak luar dapat menipu, tidak ada kriteria khusus seperti pakaian atau sejenisnya.

Mendengar teriakan mereka saya semakin sengaja memperlambat langkah saya menuju bank yang dikemas dalam wujud mobil van. Sudah dapat ditebak teriakan mereka semakin jelas terdengar, "Hei cepetan. Lari. Jangan lelet, nanti kami nggak kebagian!". Saya tidak memperdulikan teriakan mereka dan masuk ke mobil van untuk menukar uang, kemudian bergegas pulang ke rumah.

Menurut saya keberadaan mereka sangat merugikan orang lain yang benar-benar membutuhkan jasa penukaran uang gratis. Bayangkan, bila ada seorang perantau yang berpenghasilan pas-pasan dan ingin membagikan THR kepada sanak saudara di kampung, lalu ia terjebak pada antek-antek recehan itu, lalu menukar uang dengan tambahan uang sebagai 'ongkos' padahal ada jasa penukaran gratis. Merugikan bukan? Kemudian dari sisi sederhananya, munculnya praktik kolusi yang sebagian orang belum sadar bahwa mereka sebenarnya dirugikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Any comments?