Sabtu, Mei 12, 2012

Create Yourself Better

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seringkali kita dihadapkan oleh sejuta tantangan, sejuta wajah, dan juga karakter. Selama saya hidup, saya bertemu dengan banyak orang. Mulai dari keluarga saya, teman-teman, sampai orang yang baru saya kenal. Mereka semua memiliki karakter yang berbeda. 

Setahun yang lalu saya masih merasakan kemuakan dengan karakter-karakter itu. Rasanya setiap timbul pertentangan sikap dengan diri saya, saya merasa terganggu, bahkan sangat terganggu. 

Sering saya temui beberapa orang yang tidak profesional dalam mengeluarkan kemarahannya. Mereka marah karena situasi tertentu lalu meluapkannya, secara besar-besaran, dan membabi buta. Bahkan terkadang objek pembuat marahnya bertambah. Karena satu sebab, mempengaruhi sikapnya ke objek lain. Lalu tak jarang seharian penuh mungkin merasa tidak bersemangat untuk bekerja. Saya pun pernah begitu, tapi ketika saya pikir lagi hal itu sangat membuang energi.

Kemudian, stereotype. Mungkin banyak orang pernah memiliki hal ini atau masih. Stereotype adalah anggapan (negatif ataupun positif) terhadap suatu golongan. Dapat diartikan singkat demikian. Terkadang gajah di pelupuk mata tak terlihat, namun kuman di seberang lautan terlihat. Kesalahan orang lain lebih sering kita sadari dibandingkan dengan kekurangan diri sendiri. Kita mungkin kurang melakukan introspeksi diri. Kadang menggurui atau menceramahi menjadi hobi seseorang, padahal dirinya butuh ceramah tersebut. Lebih dari itu, mereka dapat menghakimi lalu menyudutkan suatu golongan. Menurut saya, ada cara yang lebih baik daripada itu. Yaitu memberi contoh perilaku yang baik. Lakukan saja kebaikan, lalu orang lain melihat. Lalu orang lain menilai dan kemudian punya keinginan untuk meniru kebaikan. Kedamaian berasal dari diri sendiri bukan? Mendamaikan diri sendiri mungkin jauh lebih sulit daripada mendamaikan lingkungan. Tapi satu hal yang pasti, lingkungan yang damai, berasal dari jiwa-jiwa yang damai.

Saya sepenuhnya sadar, saya belum sempurna dan manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan. Saya masih punya rasa kesal, benci, marah, dan sifat negatif lainnya. Namun seiring menuanya usia saya (walaupun belum kepala 2) saya berusaha semaksimal mungkin untuk terus introspeksi. Ketika saya sudah terlanjur melakukan hal negatif, saya selalu berpikir. Apakah yang saya lakukan tersebut sudah benar, atau mungkin salah. Apa yang harus saya perbaiki dalam diri saya? Saya seringkali berbicara dan berdebat dengan diri sendiri. Mengapa saya harus menahan kekesalan saya terhadap sesuatu, dan untuk apa. Kurang lebih seperti itu.

Dengan ilmu-ilmu yang telah saya dapat sampai detik ini, saya percaya saya sedang berkembang menjadi satu pribadi yang tentunya berbeda dengan orang lain. Setiap manusia spesial dengan sifatnya. Begitu juga dengan saya, saya memiliki karakter saya sendiri. Ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan saya, saya hanya dapat menjauhinya. Cukup dengan diam, sebab diam itu berkata. Ada pesan yang tersampaikan melalui diam, dan keheningan.

Jika pernah mendengar lagu panggung sandiwara, mungkin lagu itu tidak salah. Dunia ini memang panggung sandiwara. Setiap manusia menjadi bintang panggung dengan skenario yang berbeda dan memerankan karakter berbeda. Ada yang bermain di depan panggung menggunakan topengnya, dan ada pula yang sibuk di belakang panggung berdandan atau melepas kostumnya. Setiap orang memakai topeng, saya yakin. Begitupun dengan saya sendiri. Hanya saja mungkin yang perlu diperhatikan adalah topeng mana yang benar. Topeng mana yang sesuai untuk dipakai di wajah saya, kamu, dia, dan mereka. Dalam menjalani perannya itu seringkali muncul bumbu-bumbu kemunafikan, di depan menjadi malaikat, di belakang menjadi iblis. Seperti penyihir-penyihir di cerita dongeng. Sebisa mungkin semoga kita dapat meminimalisir perbedaan tersebut ya. Perbedaan peran antara di depan panggung dan di belakang panggung.

Meminimalisir perbedaan peran di depan panggung dan di belakang panggung, kurang lebih akan membawa kita menjadi diri sendiri. Proses penciptaan karakter diri itu menurut saya terus berjalan seiring kita melalui kehidupan. Banyak semboyan be yourself dimana-mana. Padahal tanpa kita sadari kita sudah menjadi diri sendiri. Sekalipun misalnya ada seseorang yang melakukan plagiat akan sesuatu hal lalu seseorang lagi mengatakan "jadi diri sendiri dong, jangan meniru", tanpa kita sadari sebenarnya sang plagiator tersebut sudah menjadi dirinya sendiri. Sebuah karakter diri yang memang berjiwa plagiat, peniru, dan pembuat kepalsuan. 

Sebuah kehidupan juga sering dan pasti diisi oleh yang namanya pilihan. Mau pilih mana, jadi baik atau munafik, jadi alim atau brandalan. Itu semua pilihan. Semua lika-liku dipenuhi pilihan. Dari mulai memilih baju saat hendak bepergian, memilih menu makanan di restoran, sampai memilih jalan hidup. Pilihan hidup juga tidak serta merta kita yang atur. Ada campur tangan Tuhan disana. Ketika kita memilih suatu model baju di toko dan sudah senang akan membelinya, kadang tidak ada ukuran baju yang sesuai, sehingga kita tak jadi membelinya. Rupa-rupanya takdir mengatakan bahwa baju tersebut bukan untuk kita. Kemudian kita berjalan ke toko lain, dan ternyata ada lebih banyak baju yang bagus di toko tersebut. Ukuran bajunya juga beragam. Itulah takdir. Tuhan selalu memilihkan  mana yang baik untuk kita. Dia menciptakan kita secara sempurna menurut porsi-porsinya.

Entah apa yang ada di pikiran saya, sehingga saya ingin menuliskan kata-kata sepanjang ini. Ya, mungkin ini hasil dari diskusi saya dengan pikiran saya sendiri. Teman-teman saya banyak yang menanyakan, mengapa saya dapat mengalirkan pikiran ke dalam tulisan dalam waktu sekejap, atau bagaimana mendapatkan inspirasi. Saya jawab, saya merasa hal itu mengalir dengan sendirinya ketika saya melihat, membaca, mendengar, berpikir, merasa, dan tertuang dalam rangkaian huruf. Kata-kata di tulisan ini juga mungkin hasil sumbangan dari kata-kata yang ada di salah satu buku yang saya baca, yaitu Secangkir Kopi Tanpa Kafein karya ROSE KUSUMANING R. Buku itu membuat saya semakin berpikir akan kehidupan dan suatu saat saya akan membuat sebuah tulisan yang dibukukan seperti mbak Rose. Amin.

Suatu hari di bulan Mei ini saya dikejutkan oleh beberapa kalimat dari beberapa orang yang membuat saya belajar menahan amarah. Menahan emosi (amarah) dan menutupinya dengan senyum atau diam memang sulit. Hati kecil saya berlomba untuk mempengaruhi saya untuk berontak. Tetapi pikiran saya berbicara. Pikiran saya menginjak pedal rem emosi. Pikiran saya memberi kesempatan untuk saya memberikan sebuah senyuman walaupun palsu. Terkadang kita tidak dapat menerka kalimat yang keluar dari lisan seseorang. Tapi hendaknya diri ini dapat mengatur lisannya. Jangan sampai memilih kata yang tidak tepat. Kata yang seharusnya tidak diucapkan oleh pribadi yang telah memiliki segudang ilmu hebat. Kata-kata tersebut sangat fatal jika sampai terucap. Sekarang saya tersenyum, walau palsu. Berusaha mendamaikan diri sendiri demi menjaga kedamaian sekitar. Kemudian teriring doa dan harapan untuk insan-insan yang telah keliru mengeluarkan perkataannya tersebut. Semoga tercerahkan segera, seiring jarum jam berdetik. Amin.

Hidup ini warna-warni. Dalam berkehidupan ini ada yang suka dengan kita ada pula yang tidak suka dengan kita. Hal itu wajar. Bagi saya, ketika ada kritik positif dan membangun, saya sangat terima, tapi jika cacian, atau penghakiman, saya biarkan jauh-jauh pergi terbawa angin. Cacian dan penghakiman hanya membuat langkah kita terhenti. Mau marah? Sebaiknya jangan selagi belum perlu.

Terkadang amarah perlu ditahan untuk kasus-kasus tertentu. Tetapi jika tak tertahan, wajar saja diluapkan. Marah yang terluapkan adalah marah yang sudah menumpuk misalnya. Daripada memenuhi hati, menumpuk sesak, sehingga tidak ada lagi celah untuk menyimpan marah, tidak ada salahnya dikeluarkan. Namun masalahnya adalah cara penyampaian marah yang tertata. Pilihlah kalimat-kalimat indah untuk marah. Tidak jarang kain sutera yang halus dan lembut itu juga dapat mencekik leher. Atur sedemikian rupa agar amarah menjadi profesional dan sesuai porsi. Emosi pada dasarnya tidak boleh tertahan. Jika ingin menangis, menangislah, karena itu wajar. Saya lagi-lagi masih belajar cara marah yang baik. Berbekal hasil praktik saya beberapa kali, saya coba tuangkan di sini. Jika kesal ataupun senang saya memilih untuk membagikan ke orang lain. Khususnya teman, atau saya bagikan lewat tulisan di blog. Tidak bermaksud selalu curhat, namun setiap beban yang ada di pundak hendaknya tidak ditumpuk dan di bawa sendiri. Atau terkadang saya memilih diam, atau bernyanyi. Bernyanyi tidak selalu menandakan sedang senang lho, tetapi bernyanyi meluapkan emosi. Seringkali tempat karaoke menjadi sarana bernyanyi dan menumpahkan keluh kesah lewat nada dan syair. Jika tak sempat ke karaoke, kamar mandi atau kamar, pun tak jadi soal. Kuncinya adalah pengendalian diri. Kapan kita menginjak rem, kapan kita menekan gas. Saya, kamu, dia, dan mereka masih belajar. Tidak ada salahnya kita saling berbagi. Selamat melalui proses pendewasaan kawan. Semua memang tak semudah yang dibicarakan. Namun semua pilihan ada di tangan kita. Kita punya hak sepenuhnya atas diri kita akan dibawa kemana. Ciptakanlah dirimu beserta karakternya, lalu damaikanlah hati, kemudian tebarkan cinta kasih ke sekitar. Maka bahagia menjadi mudah dirasakan.

salam damai,

Cintra





3 komentar:

  1. sooo mature cin! it's great :)
    let's be ourselves :D

    BalasHapus
  2. bagus chin :D
    semoga aku bisa semakin belajar ngendaliin diri :(

    BalasHapus
  3. widiiiiiwwwwwww hahaha
    yuk sama sama belajar untuk mempraktekannya :D

    BalasHapus

Any comments?