Setelah isi "bensin" dan mendapat asupan pulsa, akhirnya gue bisa banyak bicara mengungkapkan pemikiran gue disini.
Sebelum mulai, gue mau bilang.. DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA YANG KE-66 !! MERDEKAAAA!!!!
Pertama, gue nggak akan panjang lebar kaya pidato presiden 16 Agustus kemaren yang detail ngebahas masalah-masalah negara kita dari infrastruktur sampai pendidikan.
Menurut gue cukup satu yang jadi pokok permasalahan, yaitu PENDIDIKAN.
Kenapa?
Baik, akan gue jelasin pendapat gue ini.
Kita tau awal mula individu terbentuk segi moralnya adalah melalui keluarganya. Beranjak dewasa, mereka mulai merasakan yang namanya sekolah. Nah, dari situ lah peran guru mulai banyak diperluakan, mengingat waktu seseorang anak di usia sekolah dapat dikatakan lebih banyak berada di lingkungan sekolah.
Balik lagi ke permasalahan negara kita. Apasih kira-kira yang lagi booming dan in banget diomongin di tv? Kebanyakan tentang politik ya pasti kedua ekonomi dan satu lagi yang nggak kalah hot adalah gerakan separatis.
Kalo dari politik, kita udah nggak aneh lagi ya dengar kata 'korupsi', 'koruptor', atau 'KKN'. Bosan dengar kata-kata tadi? Memang. Tapi kita nggak bisa menutup mata atau coba cuek sama yang ini.
Teman, gue nggak akan jelasin lagi makna kata-kata di atas (yang tentunya kalian sebagai rakyat indo yang peduli bangsa harus sudah paham dengan permasalahan itu).
Korupsi, yang dalam hal ini gue mau sebut 'nyolong' atau 'nyuri' sesungguhnya adalah perbuatan tercela yang menyangkut dari segi moral bangsa. Kalau bicara moral, siapa sih yang membentuk moral kita dari kita kecil sampe sekarang?
Jawabannya ada di paragraf enam tadi. Maka dari itu gue bilang pendidikan kita perlu dan sangat perlu diperhatikan untuk dibenahi dan diperbaiki. Peran guru sangat amat penting dalam membangun mental dan moral anak bangsa.
Kita tidak bicara dari segi religi, tetapi budi pekerti. Banyak orang yang salah kaprah dengan menghubungkan religi dan moral. Apakah menjamin seseorang yang dengan tingkat kereligiusannya tinggi akan tau, paham dan melaksanakan segala hal dalam norma-norma dan sesuai budi pekerti. Dari zaman Indonesia belum merdeka saja sudah banyak gerakan separatis yang ingin mendirikan negaranya sendiri. Dan sekarang hal itu masih terjadi. Makin tinggi pohon maka angin yang berhembus akan besar juga. Indonesia merdeka dan perlahan bergerak maju seiring berkembangnya zaman dan seiring maraknya gerakan separatis. Gerakan separatis tersebut juga tidak sedikit yang mengatasnamakan agama bahkan berlindung di bawah agama untuk mendapat pengakuan dan juga mendapat pengikiut. Oleh karena itu disini gue bilang religi tidak menjamin moral suatu individu.
Terlebih kita tau Indonesia ini merupakan negara dengan beragam suku, ras dan agama. Di bawah kaki garuda pancasila pun telah jales tertulis Bhineka Tunggal Ika, yang artinya walaupun berbeda beda tetapi tetap satu.
Beragamnya suku, ras dan agama tadi sebenarnya mengharuskan bangsa Indonesia untuk mempunyai sifat toleransi. Sayangnya saat ini masih banyak orang-orang yang tidak toleransi terhadap saudaranya yang berbeda. Alangkah bahagianya negeri ini jika rakyatnya bisa hidup rukun dan damai.
Oke, daritadi kita udah sangat ngelantur kesana sini. Tapi jujur untuk bicara yang satu ini (Problematika negara) memang nggak ada habisnya dan juga penuh unek-unek.
Ngomong-ngomong, tadi jam 10.00 gue nonton rangkaian upacara kemerdekaan detik-detik proklamasi. Acara ini termasuk rutin gue ikutin tiap tahun, dan nggak pernah bosen untuk ditonton. Bagi gue lhoo yaa.. (nggak tau kalo eloo disana..)
Gue seneng banget kalo liat paskibraka baris berbaris, rombongan TNI AU,AD, AL dan terlebih paduan suaranya. Suka semuanya deh!!
Gue kagum sama sosok Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Beliau tergolong sangat baik dalam memimpin negara dalam 2 periode. Ditambah lagi Beliau pintar dalam membuat lagu. Dalam upacara yang tadi gue tonton, ada tersisip lagu ciptaan beliau yang berjudul Untuk Bumi Kita. Lagunya bagus banget dinyanyiin sama siswa SD dari Maluku. Semua rangkaian upacara tadi bikin gue terharu. Terharu sama jasa-jasa pahlawan dan terharu bangga liat mereka yang bisa berkontribusi langsung di upacara tadi. Pengen banget rasanya bisa jadi penyanyinya. Yah walaupun cuma bermodalkan hobi nyanyi dan nggak pernah les vokal, tapi suara gue cukup dapat diperhitungkan dalam hal bernyanyi, mengingat sekarang banyak penyanyi pendatang baru yang suaranya cukup bisa didengar (tidak untuk dinikmati). hahaha.. Over confidence sekaligus jahat yaa udah jelek-jelekin suara orang lain haha..
Dikala banyak orang yang menghujat presiden kita (dan juga partainya), gue mencoba untuk melihat dari sisi netral. Memang tadi di paragraf sebelum sebelumnya gue udah nyebutuin masalah kita, tapi gue nggak menyalahkan pemimpin kita.
Masalah ini kalo menurut gue udah jadi warisan kepemimpinan-kepemimpinan sebelumnya, yang belum sempurna dan sedikit banyak melakukan kekhilafan. Ibarat penyakit, sebenernya ini penyakit udah ada dari dulu tapi baru terdeteksi belakangan hari dan baru mendapatkan pengobatan belakangan hari juga. Coba bayangin ketika suatu penyakit telah mencapai stadium 4, atau stadium lanjut dan baru diobati, maka sang dokter akan lebih sulit untuk meruntun riwayat penyakitnya. Jangankan meruntun, melakukan observasi saja tidak cukup sehari dua hari. Nah, dokter tersebutlah yang sekarang kita sebut sebagai presiden negara kita. Sekali lagi, ini IBARAT lhoo!
Mencoba untuk tidak menyalahkan pemimpin kita, sekali lagi gue bilang kalo apa yang Beliau lakukan selama ini adalah baik dan untuk kebaikan rakyat Indonesia. Mereka juga manusia. Buktinya mereka bekerja juga dibantu tim kerja atau menteri. Saat ini kita cuma butuh social awareness atau kesadaran sosial.
Selain menggurui, memprotes bahkan menghujat pemerintah, sebaiknya kita bangun dulu kesadaran sosial itu. Harus seperti apa kita, harus bagaimana kita itulah yang penting.
Dan ingat, yang namanya social awareness juga harus diterapkan di semua jajaran, badan legislatif, eksekutif dan yudikatif sehingga nggak ada lagi yang namanya 'makan uang rakyat', karena mereka udah punya rasa sadar itu.
Kembali bicara tentang pendidikan, sistem pendidikan di Indonesia ini udah waktunya dibenahi dari akarnya.
Sebagai pelajar yang juga merupakan mahasiswa baru di sebuah universitas negeri, gue melihat sendiri kok fakta-fakta pendidikan Indonesia.
Pertama, kurukulumnya sering banget gonta-ganti. Pas kelas 6 KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), kelas 7 masih KBK, Kelas 8 KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan pas SMA jadi KSP. Secara garis besar ketiga kurikulum yg gue sebuktan di atas punya visi yang sama, yaitu membuat anak didik menjadi lebih aktif serta peran guru sebagai fasilitator. Aktif yang bagaimana, fasilitator itu kaya apa.... Jadi pertanyaan baru kan?
Ketika di kelas, gue merasakan sendiri dan menjadi saksi hidup bersama temen temen yang lain bahwa aktif tersebut berarti kita yang mencari bahan pelajaran disamping buku diktat dari sekolah. Realisasi dari sikap aktif itu kita lebih banyak presentasi kelompok dalam kegiatan belajar mengajar. Peran guru sebagai fasilitator dalam hal ini adalah penyampai bahan (materi) pelajaran yang kan di pelajari. Namun, pada kenyataannya di kehidupan aslinya (di kelas) banyak fasilitator yang 'main gampang' aja. Realisasinya adalah masuk kelas, kasih tugas kelompok/individu, kumpulkan sesuai deadline. Wow.. asiknya...
Tiba saat ujian, ketika ada materi ujian yang siswa merasa belum pernah dibahas di kelas atau belum pernah didiskusikan maka hal tersebut bukan menjadi wilayah tanggung jawab sang fasilitator, dengan alih-alih sistem pendidikan yang berlaku, kurikulum yang berlaku dan visi dari kurikulum tersebut.
Memang kita presentasi dan mencari bahan ajar sendiri, namun bukan berarti kita tidak butuh pengarahan dan penjelasan dari apa yang telah kami dapatkan dari internet ataupun sumber lain.
Dari sana aja udah banyak yang salah kaprah sama KTSP, KSP dkk. Terus mereka di gaji untuk apa?
Fakta lain,adalah pemerataan sekolah dan pemerataan pendidik. Semalam gue lihat di suatu acara televisi tentang potret pendidikan Indonesia, dimana masih ada di pelosok sana pelajar yang belum bisa merasakan pendidikan dengan layak. Berangkat sekolah masih harus melewati gunung dan sungai, melepas sepatu dan kaos kakinya sampai harus basah terkena arus sungai yang cukup deras. Bahkan ada diantara mereka yang harus menyeberangi sungai bertebing tanpa jembatan yang layak melainkan seutas tali bagaikan outbond. Sungguh miris. Mau sekolah pun mereka harus bertaruh nyawa seperti itu. Ditambah lagi ketika sampai di kelas mereka harus berebut bangku dengan teman karena kelas yang mereka tempati tidak cukup menampung seluruh siswa. Sampai kapan kita mau mempertahankan itu semua?
Di pelosok dan di ibukota sama-sama punya masalah. Ketika di ibukota telah terlena dengan UMR (Upah Minimum Regional) yang tinggi, korupsi merajalela, gaji buta, lepas tangan. Sedangkan di pelosok, yang mungkin tanpa gaji (dan kalaupun ada gaji, tidak sebesar UMR ibukota) mempunyai semangat belajar yang tinggi namun tidak memiliki sarana yang layak.
Dari sana lah seharusnya kita sadar, dan berpikir. Berpikir lalu bergerak, merubah ketidakadilan. Padahal semua warga Indonesia punya hak pendidikan yang sama.
Mengenai seleksi penerimaan mahasiswa baru maupun Ujian Nasional juga belum terbenahi.SNMPTN atau UMPTN dari tahun ke tahun tidak pernah transparan dalam segi penilaian. Entah apa alasannya. Malah kabarnya ada joki ujian bahkan 'pesen bangku' di universitas. Itu semua fakta. Gue bisa bicara karena gue sebagai pelajar sendiri merasakan dan mengalami (nggak perlu survey lagi). Kalau punya koneksi, urusan tinggal gampang, tinggal bilang, tinggal sebut, tinggal bayar. Demi masuk perguruan tinggi ternama.. Untuk jaga gengsi dan prestis. Shortcut tadi bukan saja melanggar hukum tapi juga merugikan orang lain.
Fakta selanjutnya adalah dari masa orientasi siswa baru atau mahasiswa baru. Kalau dari segi kekerasannya, mungkin sekarang ini sudah tidak separah dulu walaupun masih ada juga yang masih bertindak keras, satu-dua..
Untuk tingkat SMP dan SMA, di Jakarta khususnya, gue rasa perpeloncoan udah nggak ada. Seperti yang dilakukan semasa gue SMP. SMP gue termasuk favorit lokasinya di daerah Tebet Utara. Jujur gue bangga bisa masuk situ ngalahin ribuan orang yang juga pengen masuk situ. Disana masa orientasi dinamai MOS (Masa Orientasi Siswa) yang berlangsung 3 hari. Selama 3 hari tersebut gue dikenalkan dengan seluk beluk sekolah, materi-materi pengembangan diri yang disampaikan lewat guru, dan yang lebih penting adalah nggak ada atribut berupa nametag yang harus dikalungkan di leher dan atribut lain yang notabene mempermalukan diri sendiri. Di hari terakhir kita semua berlomba yel yel dan yang menang dapat hadiah. What a fun thing, isn't it?
Tingkat SMA juga begitu, kebetulan gue bersekolah di salah satu SMA negeri di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selama 3 hari MOS di sekolah itu kita hanya perkenalan sesama temen, dan senior lalu mengenal seluk beluk sekolah dan tradisinya. Tanpa kekerasan.
Perguruan tinggi, kita mengenal yang namanya ospek. Untuk kepanjangan ospek ini gue nggak terlalu tau. Tapi yang mau gue bahas adalah mekanisme si ospek ini. Ketika di tingkat SMP dan SMA kita sudah mengenal suatu mekanisme yang baik lalu mengapa di universitas kita temui yang janggal lagi. Yang gue tau dari teman bahkan diri gue sendiri,ospek sekarang masih loh surh buat atribut macem-macem sperti nametag besar terbuat dari karton warna lalu tas yang terbuat dari karung atau sebagainya, something like that.. Lalu baris berbaris di bawah sinar matahari yang sangat menyengat dikala bulan puasa (tahun ini bertepatan dengan bulan ramadhan), dan juga berargumentasi mengenai hal yang telah diatur sebelumnya. Menurut gue hal itu terlalu percuma untuk dilakukan. Berjemur di bawah matahari apakah bukan kekerasan fisik?
Dalam hal ini gue bicara tentang universitas biasa, bukan akmil atau akpol. Mungkin kalau akmil atau akpol memang di set untuk menjadi individu yang tahan banting disetiap saat. Tapi mahasiswa universitas non akmil atau akpol apakah perlu "pemanasan" itu?
Tujuan kita disana adalah belajar. Kalau sebagian orang bilang bahwa momen ospek sebagai ajang sosialisasi atau ajang melatih kekompakan, tidak juga sepenuhnya benar. Mengapa?
Karena, sosialisasi dapat terbentuk dengan sendirinya ketika kita telah belajar. Masa sih di dalam kampus kita nggak ketemu temen dan nggak ngobrol? pasti iya lah. Hal hal tersebut pasti akan terbentuk dengan sendirinyaa, termasuk pendewasaan diri. Semua tergantung individunya.
Coba kita tengok negara-negara maju di luar sana, kegiatan perkuliahan dimulai dengan sewajarnya. Tidak ada yang namanya masa orientasi yang pakai sistem jemur sistem atribut warna warni. Tapi hasilnya mereka tetap maju dan modern. Bahkan lebih maju dari kita. Coba pikir dengan atribut yang sekian banyak dipakai selama ospek, adakah yang kalian simpan? kalau sekedar barang-barang yang terbuat dari kertas pasti hanya berujung di tempat sampah. Padahal ketika kalian buat itu, penuh perjuangan, cari sana sini. Belum lagi kalau memang barangnya langka di pasaran. Sekalinya tidak langka, rumit pembuatannya. Sekalipun tidak rumit, banyak jenisnya yang di buat.
Dari pembuatan, pemikiran, jerih payah, materil dan hal lain yang dibutuhkan untuk membuat atribut itu pada dasarnya hanya buang-buang energi.
Kalo negara lain bisa maju tanpa hal-hal yang membuang waktu dan energi lagi materil, mengapa kita masih menutup mata, pura-pura tidak tahu dengan hal yang tidak penting seperti sekarang ini. Hey..there please, wake up!
Jadi kaum intelektual apa perlu berdiri panas-panasan di bawah matahari dengan berbagai atribut yang pada akhirnya akan berakhir di tong sampah?
Kapan kita move on? ketika pendidikan di eropa gratis, ketika negara lain udah bisa buat pesawat, ketika negeri di ujung dunia sana bisa bebas melakukan apa yang mereka sukai, kita disini masih stuck, diam, statis, seperti mobil ditengah kemacetan lalu lintas kota Jakarta.
*)Saya harap ketika hal-hal diatas masih dalam pembenahan namun kebebasan berpendapat telah terlaksana dengan baik serta diperhitungkan, ditengah-tengah berkembangnya zaman.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Any comments?