Rabu, Oktober 11, 2023

Bercerita Tentang Bapak Kita

sumber foto: fineartamerica

Pekan lalu, saya berbincang dengan seorang kawan seusai sebuah acara perayaan. Kami memesan minuman di kedai kecil lalu berbincang dari topik satu ke topik lainnya. Lalu kami beranjak ke topik keluarga. Memang, topik keluarga sejatinya bukanlah sebuah topik yang mudah untuk dibicarakan ke satu sama lain. Butuh keberanian dan juga kerapuhan yang terang-terangan ditunjukkan untuk bisa terhubung sampai ke topik tersebut. Ya, kami mulai cair ke arah sana. Spesifiknya mengobrol soal bapak kami satu sama lain.

Bermula dari bagaimana bapak saya tumbuh besar. Bapak saya bertumbuh di suatu daerah di Jawa Tengah dengan budaya komunal yang sangat lekat dengannya. Kalau kata orang-orang sih guyub. Jelas saja, ia lahir sebagai anak ke tujuh dari sembilan bersaudara, sebagai anak laki-laki terakhir, karena adik-adiknya perempuan semua. Apa yang terbayangkan dengan latar belakang tersebut? Ya, tentu saja sistem hierarki keluarga. Siapa abang, siapa kakak, siapa adik, semuanya sudah mesti tahu posisinya dan tak lupa panggilan sapaan hierarkis, seperti 'Mas' dan 'Mbak'.

Bagi saya yang tumbuh besar di kota metropolitan sedari kecil sampai detik ini, hal itu saja sudah membuat mata terbelalak. Bukan soal panggilan sapaan hierarkis, namun hidup bersama dengan kakak dan adik sebanyak itu ditambah lagi bapak dan ibu. Satu rumah bisa sampai bersebelas. Sederhananya, ruwet bagi saya yang kalau melihat kerumunan di mall rasanya ingin kabur secepatnya, karena energi sosial saya cukup minim sebagai seorang introvert.

Mengenai masa kecilnya seperti apa, saya hanya bisa menebak. Pernah suatu waktu di masa liburan caturwulan semasa SD kami sekeluarga pulang kampung ke kampung bapak saya, di lereng Gunung Merapi. Pada masa itu di tahun 2000an awal, sejauh mata memandang adalah hamparan sawah nan hijau, parit kecil yang mengelilinginya, dan kebun tembakau. Ada pula sungai dan bendungan yang airnya jernih sekali dengan bebatuan besar sisa-sisa semburan vulkanik. Dalam bayangan saya, pastilah masa kecil di daerah seperti ini sangat menyenangkan-di luar dari hidup bersebelas tadi. Tapi bukankah, hidup di lingkungan yang se-asri itu juga barang tentu sepadan dengan konsekuensi bahwa kita mesti guyub dengan keluarga dan tetangga sekitar. Buktinya, saat saya berlibur di kampung bapak, semua orang yang lewat dan berpapasan sudah pasti menyapa dan berhenti sejenak untuk basa-basi.

Saya tidak benar-benar mengenal bapak saya dan masa kecilnya. Atau boleh jadi, memang tidak mengenal. Saat pertengahan kelas 3 atau 4 SD bapak saya baru saja mendapat pekerjaan tetap yang mengharuskan dia ke luar pulau Jawa selama beberapa waktu. Sebetulnya saya juga lupa kurun waktu pastinya, karena beberapa memori itu sudah saya reduksi. Itu adalah momen saya tahu bahwa bapak saya tidak akan lagi menjadi seorang pengangguran atau kerja serabutan. Momen yang membingungkan. Di satu sisi tugasnya sebagai pencari nafkah baru saja dimulai. Tapi di sisi lain, dia tidak ada di sisi kami, bersama di hari-hari kami. Sekejap dari momen itu, saya lupa jika saya punya bapak. Karena ia lama sekali pulang ke rumah.

Obrolan saya dan kawan saya di kedai mengalir begitu saja. Seraya ia menyeruput es thai tea dan saya hanya menghabiskan air mineral dari botol kemasan. Perbincangan soal bapak belum usai.

Kawan saya bercerita tentang bapaknya yang seorang peminum (minuman beralkohol). Kalau sudah mabuk, pastilah anak jadi sasaran pukul jika tidak patuh dengan ucapannya. Tapi hal itu hanya terjadi pada anak, tidak dengan istri. Pada istrinya, dia laki-laki yang bisa diandalkan. Seorang suami yang memberikan penghidupan layak dan juga menyerahkan pengelolaan keuangan pada istri secara penuh. Bahkan rela pasang badan jika istrinya dibahas-bahas oleh keluarga besarnya. 

Sedih. Empati saya terenyuh saat mendengar cerita kawan saya dan traumanya. Ada juga perasaan heran, dan bertanya dalam hati apakah bapak saya saja yang tidak tahu caranya memberikan penghidupan yang layak? Apakah hanya dia yang setelah mendapat penghidupan layak malah lantas meninggalkan kami?

Kelas 4 SD akhir kalau tidak salah, bapak sempat pulang sejenak dari luar pulau. Seingat saya dulu tidak ada momen selebrasi atau semacamnya. Saya hanya ingat kami sempat menjemput bapak ke bandara lalu pulang. Tidak ada kado, oleh-oleh, atau semacamnya. Bapak hanya menunjukkan foto-foto selama ia bekerja. Foto bersama kawan di pekerjaannya yang saat itu di bidang hiburan. Ada perasaan canggung saat berinteraksi dengan bapak waktu itu, karena sekian lama kami tidak bertemu dan bapak hadir kembali dengan sesuatu yang berbeda. Entah apa.

Siang itu, saya pulang sekolah. Seperti biasa setelah ganti baju rumah dan istirahat sebentar biasanya saya pergi mengaji. Tapi nampaknya siang itu agenda mengaji harus diabaikan. Kamar tidur kami berempat dipenuhi barang-barang pasca bapak pulang. Di ranjang ada beberapa tupperware dengan isi perkakas random sampai obat-obatan. Tak tahu inisiatif dari mana kala itu, rasa penasaran saya muncul dan bertanya pada ibu, "kotak yang ini isinya apa sih?" sambil menunjuk ke arah kotak berukuran sedang berwarna transparan dengan tutup berwarna kuning. Ibu menjawab saat itu, "Ya, dibuka aja wong punya bapaknya sendiri".

Sejak itu, kamar kami porak poranda karena ibu mengamuk setelah melihat isi kotak tersebut.

Selembar foto dengan visual bapak dan seorang perempuan di pangkuannya. Jangan tanya selebihnya, karena foto itupun sudah langsung dirobek oleh ibu. Saya hanya bisa diam melihat ibu mengamuk tanpa sepatah kata. Boleh jadi saya polos karena saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Di usia saya saat itu, sulit untuk mencerna adegan tadi dengan proses yang cepat. Ditambah pula, hari-hari sebelumnya bapak memamerkan foto-fotonya bersama kawan selama kerja di luar pulau dengan ringan hati. Adegan itu sekilas seperti adegan di sinetron-sinetron tahun 1990-2000an awal.

Iya, dramatis.

Ternyata hari-hari setelah adegan itu berjalan aneh bagi saya. Konflik bapak ibu yang sebetulnya sudah terjadi sebelum itu, juga menambah berlapisnya konflik ini. Setelah terkatung-katung sekian tahun, akhirnya surat dari pengadilan agama datang juga. Tepat saat saya SMP kelas 1.

Momen yang ngeri saat itu. Sebab bayangan saya mengenai perceraian orang tua adalah harus memilih akan tinggal dengan siapa, persis seperti perseteruan selebriti ibukota di pemberitaan program gosip. Ternyata hal ngeri itu tidak terjadi. Tidak ada perseteruan atau perebutan anak. Semua hak pengasuhan diserahkan kepada ibu tanpa bertele-tele.

Belakangan saya tahu, semua itu karena bapak nikah lagi. Saya tahu belakangan. Setidaknya saya diberi tahu belakangan saat saya sudah dewasa, sudah punya pekerjaan saat itu oleh bapak langsung. Singkatnya, saya tahu belakangan ya sesederhana karena saya tidak mau tahu saja.

Bercerita tentang bapak, sepertinya tidak ada habisnya. Bukan kali pertama juga saya mendengar cerita tentang bapaknya kawan saya. Tanpa bermaksud menjadi kaum mendang-mending, ada juga bapaknya kawan saya yang malah diam-diam menikah lagi atas nasihat seorang pemuka agama tanpa menceraikan istri pertamanya. Secara teknis, poligami. Tapi bukankah syarat poligami dalam agama adalah 'mampu'? Karena nampaknya syarat tersebut tidak terpenuhi di garis start. Terutama finansial.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk bersyukur. Tidak sama sekali. Saya tidak merasa bersyukur karena bapak saya tidak memukul saya, alih-alih 'hanya' selingkuh dan menelantarkan keluarganya. Tidak begitu konsepnya. Saya rasa kita pantas kecewa dan marah dengan siapapun dia.

Mungkin karena kita masih hidup di tatanan dunia yang belum ideal, kita perlu mendidik dan mengajari anak laki-laki untuk tahu contoh-contoh sikap baik, menghargai, dan tanggung jawab. Tak lupa memberi pelajaran juga dari contoh yang buruk.

Kenapa harus anak laki-laki? Bukankah harusnya perempuan juga diajarkan konsep-konsep tadi?

Saya kira, anak perempuan sudah terlalu banyak tuntutan sedari kecil. Anak perempuan dibesarkan dengan khayalan utopis menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak, harus bisa mengerjakan pekerjaan domestik dan segala tetek bengek lainnya yang membuat muak. Sementara sejatinya perempuan juga bisa punya pilihan untuk tidak melakukan tuntutan sosial yang mendarah daging tersebut, tanpa menyakiti pilihan atau merugikan orang lain.

Sayangnya, tuntutan mengenai khayalan utopis tadi tidak ditanamkan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki hanya tau bermain bersama teman-temannya, menjadi tangguh, pemberani, menjadi pemimpin di segala lini kehidupan, dan sifat-sifat maskulin lainnya yang membosankan. Mereka tidak diajari bagaimana caranya memeluk kesedihan, mempraktikkan kasih sayang dan bertutur lembut.

Setidaknya yang saya perhatikan begitu adanya. Cerita kawan-kawan saya tentang bapak-bapak mereka, sudah cukup bagi saya. Saya tidak berharap cerita manis seperti kisah populer Sabtu Bersama Bapak-yang saya sendiri tidak membaca buku ataupun menonton filmnya, karena menurut saya tidak relevan dengan hidup dan relasi saya dengan bapak.

Layaknya menonton film atau membaca buku, kita bisa memilih film dan buku apa saja yang akan kita nikmati, kapan dan di mana. Pun idealnya kita bisa memilih jalan hidup dan keputusan kita tanpa paksaan. Namun tentunya kita tidak bisa memilih akan dilahirkan dari orang tua yang mana.

--

Jakarta, 16 Februari 2023 - 03:39 WIB

Selasa, Februari 07, 2023

Lama Tak Bersua

Halo, apa kabar?

Barangkali itu yang pertama saya sampaikan sesaat membuka blog lama ini. Unggahan terakhir saya tertanda di tahun 2016. Di tahun-tahun sesudahnya sepertinya ada juga hal-hal yang saya tulis namun berakhir diarsipkan atau menjadi draft saja.

Rentang waktu yang lumayan jauh sampai dengan saat ini, 2023. Ada banyak hal yang terjadi, terlewat, dan terkenang. Ada kalanya diingat jika itu membuat suka cita, tapi lebih nyaman jika tidak perlu diingat-ingat lagi. Delapan tahun berproses, terbentur, terbentur, dan terbentuk namun masih berproses. Melewati delapan tahun ini, saya cukup terlena dengan kehidupan sampai-sampai tidak pernah lagi meluangkan waktu untuk menulis panjang di sini.

Kalau boleh saya rekap tahun panjang ini, saya cukup bertumbuh di profesi saya saat ini. Suka duka tentu ada. Kehidupan pribadi yang bongkar pasang seperti puzzle juga ikut mewarnai proses delapan tahun ini. Pernah babak belur sesekali, dan sampai kini masih menyembuhkan luka-luka itu. Semua dijalani dengan lapang hati dan napas teratur.

Fiuh.

Di tengah malam ini saya mencoba mengisi kembali kolom kolom kosong di blog saya. Ditemani playlist lagu di spotify yang kebanyakan diisi lagu-lagu saat saya SMA dulu. Terbilang lawas, karena kalau dihitung-hitung sudah sepuluh tahun lebih. Akhir-akhir ini memang cukup banyak yang melintasi pikiran. Seringnya sih tidak penting-penting amat.

Namun semua hal yang melintas di pikiran tadi tidak akan menyingkir kalau tidak 'diwadahi'. Lucu juga bagaimana mereka membajak kapasitas otak saya sedemikian rupa. Well, itu dia. Hanya minta diberi jalan untuk lewat saja. Kadang-kadang saya menulis di note ponsel, lalu ia hilang. Pergi. Lega? Iya, lumayan. Tapi kemudian muncul lagi yang lain, singkatnya beranak pinak.

Saat ini pukul 02.07 WIB, sudah ngantuk, dan lagu-lagunya semakin sendu.

Oh iya, entah kenapa sebelum mengakhiri celotehan ini saya mau bilang terima kasih dan peluk virtual untuk orang-orang terkasih, sahabat, teman, bahkan kolega yang masih tulus memberikan perhatian, waktu, dan tenaganya untuk saya selama ini. Setidaknya dalam rentang waktu delapan tahun ini dan khususnya di saat-saat yang tidak mengenakkan dalam kurun waktu tersebut. 

Terima kasih ya, kalian.

Semoga Tuhan selalu menjaga dan memberikan jalan di saat kalian berkesusahan.


---

Jakarta, 7 Februari 2023 | 02.13 WIB

#nowplaying Sara Bareilles - She Used To Be Mine

Rabu, Agustus 31, 2016

Kilas Balik: HORAS AMANG, Tiga Bulan yang Memberi Makna

Foto: Teater Legiun
Sabtu malam 27/08/2016, saya berkesempatan untuk menyaksikan sebuah pementasan teater yang berjudul Horas Amang di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pementasan teater ini digagas oleh sebuah kelompok teater bernama Teater Legiun. Teater Legiun berawal dari kelompok teater gereja yang kemudian melebarkan sayapnya untuk dapat menebarkan nilai-nilai positif ke cakupan yang lebih luas lagi, yaitu masyarakat umum. Mereka memiliki tujuan yaitu mengedukasi masyarakat mengenai nilai-nilai/budi luhur melalui pertunjukkan teater. Tidak sampai di situ, mereka juga menyumbangkan hasil penjualan tiket pada tiap pertunjukkan mereka untuk pihak-pihak yang memerlukan bantuan finansial. Pada pementasan kali ini mereka menyumbangkan hasil penjualan tiket ke Komunitas Gumul Juang, sebuah organisasi pelayanan teologi sosial yang didirikan oleh beberapa alumni dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta serta salah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 2009.

Pementasan yang berjudul Horas Amang ini merupakan produksi ke-9 Teater Legiun. Horas Amang berkisah tentang sebuah keluarga yang terdiri dari seorang duda, Amang Binsar Sagala (Amang, sebutan bapak dalam bahasa Batak) dan ketiga anaknya. Ketiga anaknya itu adalah Tarida, Maruli dan Pardamean (Dame). Mereka bertiga terbuai dengan hal-hal duniawi melalui karir, jabatan dan uang.

Tarida, si anak pertama dan perempuan satu-satunya, bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan. Hidupnya disibukkan dengan pekerjaannya tersebut. Terlebih apabila bosnya - Pak Boston, telah menelepon dan menginstruksikan hal-hal menyangkut pekerjaan di kantor. Anak kedua Amang Sagala bernama Maruli. Ia bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Hari-harinya hampir serupa dengan kakak sulungnya, disibukkan dengan pekerjaan. Sebagai dokter muda yang kinerjanya baik ia seringkali dipercaya atasannya - Pak William, untuk mengerjakan beberapa tugas penting. Terakhir, si bungsu, Pardamean atau yang kerap disapa Dame, adalah pemuda yang mencoba peruntungannya menjadi koki namun gagal karena ia keras kepala dan tidak bertanggung jawab. Kegemarannya berjudi membuat ia kewalahan dengan utang-utangnya.

Keluarga Amang Sagala hidup dan tinggal di sebuah permukiman bernama Kampung Toba. Kampung Toba bukanlah sebuah nama desa di Tapanuli melainkan sebuah permukiman bergaya Batak yang terletak di kota besar. Para perantau yang notabene adalah kelahiran Tapanuli, merasa senang tinggal di Kampung Toba karena dapat mengobati kerinduan mereka akan kampung halaman. Warga Kampung Toba yang juga merupakan sahabat karib Amang di antaranya adalah Togap, Gordon, Haposan, Parulian, dan Patar, si buta yang bijak. Mereka tak segan-segan menolong Amang di kala susah atau butuh bantuan. Terlebih Parulian - seorang pengacara yang juga teman main catur Amang, ia sudah dianggap seperti anak kandung Amang sendiri sebab seringkali ketiga anak Amang acuh tak acuh. 

Di rumahnya, selain bersama ketiga anaknya, Amang tinggal bersama adik perempuannya dan satu orang keponakan perempuan (anak dari adik perempuannya). Namboru (sebutan untuk adik perempuan amang) dan Nauli - anak perempuan namboru, tinggal di rumah itu sejak istri Amang meninggal dunia. Istri Amang berpesan agar namboru bisa menjaga dan merawat anak-anak Amang. Sejak itu rumah mereka terasa ramai dan hangat, walau menurut anak-anak Amang rumah itu kian sempit sebab Namboru dan Nauli ikut bernaung.

Suatu hari Amang Sagala berulang tahun. Amang memasak berbagai makanan untuk merayakan hari lahirnya itu bersama keluarga. Akan tetapi harapan untuk merayakan ulang tahun bersama anak-anaknya pupus karena ketiganya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Tarida sibuk dengan tugasnya sebagai sekretaris Pak Boston, yang kebetulan hari itu juga berulang tahun. Ia baru ingat setelah Pak Boston mengingatkannya akan hari ulang tahun ayahnya. Pak Boston ingat, Tarida pernah mengatakan bahwa hari ulang tahun amangnya sama dengan hari ulang tahun Pak Boston. Setelah ingat, seketika Tarida menelepon dua adiknya untuk merayakan hari spesial itu di restoran Siantar. Segera mereka bertiga membuat janji dengan Amang untuk bertemu di restoran Siantar.

Berjam-jam Amang menunggu ketiga anaknya itu di restoran namun tak satupun dari mereka yang datang. Rupanya, lagi-lagi ada keperluan mendadak terkait pekerjaan mereka itu. Amang yang kecewa terpaksa pulang dan menyantap makanan yang telah ia masak sendiri di rumah bersama Namboru dan Nauli.

Kekecewaan Amang tak sampai di situ. Maruli, si dokter spesialis penyakit dalam kebanggaan Amang tiba-tiba meminta izin untuk menikahi seorang perempuan. Perempuan itu tak lain adalah Debora, anak Pak William-atasan Maruli. Setelah kedua pihak mempelai bertemu, nampaknya ada yang tak bisa disepakati oleh Amang selaku ayah dari mempelai laki-laki. Pak William memberikan 'uang kesepakatan' yang jumlahnya fantastis kepada Amang. Dengan adanya uang itu, Pak William ingin di pesta pernikahan Maruli dan Debora nanti tidak dihadiri oleh sanak saudara pihak mempelai laki-laki. Itu artinya segenap warga kampung Toba tidak diperkenankan hadir.

'Uang kesepakatan' tersebut bagaikan penghinaan bagi keluarga Amang. Walaupun hidupnya miskin bukan berarti ia bisa 'dibeli' dengan uang. Ia marah besar karena harga dirinya sebagai orang Batak telah diinjak-injak. Ia pun mengembalikan uang tersebut di depan muka Pak William. Namun demikian pesta pernikahan Maruli tetap dilaksanakan tanpa kehadiran sanak saudara Kampung Toba. Di tengah kemeriahan pesta pernikahan itu hati Amang sangat kecewa.

Tarian pembuka cerita (dokumen pribadi)

Tarian saat pernikahan Maruli (dokumen pribadi)

Tarian saat pernikahan Maruli (dokumen pribadi)
Tak cukup Tarida dan Maruli yang melukai hati Amang. Dame, si bungsu, dikejar-kejar preman penagih utang. Ia kebingungan bagaimana caranya membayar utang hasil kalah judinya itu. Utang Dame berjumlah 10 juta dan tentu saja ia tak memiliki uang sebanyak itu. Beruntunglah Dame bertemu dengan Arta. Gadis dari sebuah desa di dekat Danau Toba sana yang merantau ke kota hanya untuk mengejar cintanya. Arta memiliki keyakinan bahwa Dame, cinta masa kecilnya, akan menjadi jodohnya. Hal itu berawal dari sebuah janji yang mereka ucapakan tatkala 18 tahun yang lalu Dame ditolong oleh Arta setelah hampir tenggelam di Danau Toba. Sebuah janji untuk bertemu kembali suatu saat.

Dalam keadaan yang terhimpit itu, akhirnya Dame ditolong oleh Arta. Uang 5 juta bekal dari kampung diberikan seluruhnya untuk membayar separuh dari utang Dame. Arta yang luntang-lantung di kota akhirnya menumpang tinggal di rumah Amang. Awalnya kehadiran Arta ditolak habis-habisan oleh Tarida, tetapi karena sikap Arta yang tulus akhirnya Amang memperbolehkan Arta tinggal di rumahnya. Rumah itu semakin ramai dan hangat dengan kehadiran Arta. 

Keadaan keluarga amang yang serba sederhana itu membuat Maruli dan Debora memiliki sebuah ide, yaitu menjual seluruh tanah di kawasan kampung Toba dan mendirikan rumah kontrakan dengan konsep yang lebih modern. Ide itu diutarakan kepada saudaranya, Tarida dan Dame. Awalnya Tarida dan Dame kaget bukan kepalang mendengar ide tersebut. Namun setelah mendengar bahwa uang hasil penjualan tanah itu akan dibagi tiga sama rata, mereka pun setuju.

Maka, majulah mereka bertiga beserta Debora menghadap Amang untuk mengutarakan niatnya tersebut. Sudah tentu Amang marah besar mendengar niatan itu. Keadaan itu membuat hubungan Amang dan ketiga anaknya kian memburuk. Namboru dan Nauli juga diseret-seret oleh ketiga anak Amang dalam permasalahan ini. Kehadiran mereka dinilai anak-anak Amang, hanya sebagai pengganggu di rumah itu.

Tak bisa diam dengan ulah ketiganya, Amang, didampingi Parulian sebagai pengacara yang ia percaya akhirnya menuntut anak-anaknya. Surat tuntutan yang datang ke ketiga anaknya itu dibaca dengan mata terbelalak. Tarida, Maruli, dan Dame terkejut melihat besarnya nominal uang yang harus mereka bayar dalam surat tuntutan tersebut. Tak terima dengan itu, mereka akhirnya datang menemui ayahnya. Dengan segala bujuk rayu ketiganya memohon agar Amang mencabut tuntutannya.

Mereka bertiga merasa tidak sanggup membayar sejumlah uang kepada Amang sesuai dengan yang tertera pada surat tuntutan itu. Mereka merasa bahwa Amang otoriter dan tidak adil meminta sejumlah uang kepada anaknya sendiri. Saat itu pula pengacara Amang, Parulian bertindak. Parulian berusaha membukakan mata anak-anak Amang, bahwa jumlah uang yang tertera itu belum ada apa-apanya dibandingkan kerja keras dan jerih payah Amang membesarkan Tarida, Maruli, dan Dame untuk sekolah dan menjadi seperti sekarang. Belum ada apa-apanya dibandingkan pengorbanan Amang untuk menyekolahkan Maruli sampai menjadi dokter spesialis, membelikan segala kebutuhan pokok dan remeh temeh yang dibutuhkan Tarida serta Dame.

Karena mereka tak sanggup membayar uang tuntutan, maka Amang memiliki lima permintaan yang harus dilakukan oleh anak-anaknya dalam kurun waktu tiga bulan. Permintaan itu adalah; 1) sarapan pagi bersama, 2) menelepon dan menanyakan kabar Amang secara rutin setiap hari kerja, 3) khusus untuk Tarida, kencan buta dengan delapan pria - empat pria pilihan Amang dan empat lainnya boleh pilihan Tarida sendiri, 4) Maruli dan Debora tinggal bersama di rumah Amang, dan 5) Dame rutin memberikan uang sebesar 6 juta setiap bulan pada Amang. Walau alot, akhirnya permintaan itu disepakati oleh ketiganya.

Perlahan kelima permintaan tersebut dijalani oleh ketiga anak Amang. Tarida, si anak pertama akhirnya menemukan tambatan hatinya, yaitu Parulian, teman main catur dan juga pengacara Amang. Mereka menikah dan hidup bahagia. Debora, istri Maruli menjadi kerasan dan merasa memiliki keluarga setelah tinggal di rumah Amang. Ia juga jadi banyak belajar tentang adat istiadat Batak dan khususnya tentang tutur sapa hierarkis dalam budaya Batak. Terakhir, si bungsu Dame, ia menjadi sosok pekerja keras yang pantang menyerah karena terbiasa untuk mencari uang secara mandiri. Ia juga akan segera menikah dengan Arta, gadis dari Toba sana yang tulus mencintainya.

Tiga bulan yang penuh makna itu hampir usai. Amang lega karena kini tugasnya sebagai orang tua hampir tuntas. Ia tak khawatir lagi perihal generasi penerusnya akan jadi seperti apa. Namun, kini kondisi kesehatan Amang tak sebaik dulu. Belakangan ia sering terjatuh tanpa sebab. Hal itu membuat anak-anaknya cemas. Rupanya, selama ini Amang menyembunyikan penyakitnya dari ketiga anaknya. Penyakit kanker usus itu kini sudah semakin parah dan waktu Amang untuk bersama keluarganya tidaklah lama lagi.

Betapa hancur hati Maruli mendengar penyakit ayahnya. Sebagai dokter spesialis penyakit dalam, ia tidak berbuat apa-apa untuk itu.  Amang juga menolak niat Maruli untuk mencoba mengobatinya. Ia tidak ingin menyusahkan anak-anaknya untuk itu. Asal anak-anaknya telah bahagia dan memegang nilai-nilai luhur yang seharusnya, itu sudah cukup baginya.

Bersama segala memori akan tiga bulan yang memberi makna untuk selamanya itu, kini Amang sudah dapat beristirahat dengan tenang di Surga sana. 

***

Keseluruhan cerita tersebut dikemas sangat apik oleh teater Legiun. Lakon yang naskahnya digarap oleh Ibas Aragi yang juga sebagai Sutradara ini, membuat penontonnya larut dalam emosi-emosi dalam cerita. Humor yang terselip, konflik yang diangkat, pesan moral yang tersirat dan tersurat, kekuatan karakter tokoh, alunan musik Batak, efek cahaya, dan tentunya tarian-tarian pendukung, semuanya dikolaborasikan dengan sangat baik. Saya berharap Teater Legiun bisa konsisten berkarya dan menampilkan lakon-lakon yang lebih seru lagi, sehingga dapat terus menebarkan berkat ke sesama! 

Mauliate! Ditunggu pementasan berikutnya.

Horas!